Cari yang antum mau

Selasa, 30 Januari 2024

TERKAIT JAMAK SHALAT

 🔊 *MATERI 07 : TERKAIT JAMAK SHALAT*

📆 Selasa, 18 Rajab 1445 H/30 Januari 2024 M

👤 Ustadz Mu'tashim, Lc., M.A.

📗 Fiqih : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


InsyaAllah pada kesempatan kali ini kita akan mempelajari tentang Jamak di antara dua shalat.


Ada beberapa hal yang akan kita bahas InsyaAllah, antara lain tentang;


*Disyari'atkan jamak antara dua shalat*


Tentunya ini dibolehkan bagi seseorang untuk menjamak di antara dua shalat sebagaimana yang kita ketahui untuk menggabungkan di antara shalat Zhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya di salah satu waktu di antara keduanya.


Hal ini berdasarkan hadits Mu'adz, bahwa Nabi _shallallahu 'alayhi wa sallam_ ketika perang Tabuk. Ketika Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ bergerak (berjalan) sebelum matahari tergelincir maka Beliau mengakhirkan Zhuhurnya sehingga Beliau menggabungkan antara Zhuhur dengan Ashar di waktu shalat Ashar.


Kemudian apabila Beliau melakukan perjalanan setelah waktu Zhuhur maka Beliau melakukan shalat Zhuhur dan Ashar dengan digabungkan pada waktu shalat Zhuhur kemudian Beliau baru bergerak. Begitu pula yang dilakukan oleh Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ pada shalat Maghrib dan shalat Isya.


Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy _rahimahullahu ta'ala_.


Ini dilakukan baik ketika seorang musafir di tengah perjalanannya ataupun dia singgah di tempat tertentu. Maka rukhsah ini diperbolehkan untuk dilakukan walaupun yang lebih utama bagi seorang yang singgah dan tidak bergerak di tengah perjalanan, dia tidak menggabungkan shalat yang diqashar tersebut. Artinya dia tetap mengqashar namun dia tidak menggabungkan. Ini lebih utamanya, walaupun seandainya dia ingin menggabungkan karena ada keperluan atau karena dia ingin istirahat, maka diperbolehkan.


Karena Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ tidak menggabungkan ketika melakukan shalat di Mina. Karena Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ tinggal di Mina tidak dalam keadaan berjalan di tengah safarnya.


Kemudian diperbolehkan jamak bagi orang yang muqim dan dia dalam keadaan sakit, karena dianggap sebagai sesuatu yang mendapatkan kesulitan sebagaimana Ibnu Abbas _radhiyallahu ta'ala 'anhu_ mengatakan,


جمع رسول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة من غير خوف ولا مطر~ وفي رواية (من غير خوف ولا سفر)


Hadits riwayat Muslim.


Bahwa Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ menggabungkan di antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya ketika berada di Madinah tanpa sebab takut ataupun tanpa sebab hujan.


Di dalam riwayat yang lain, "Tanpa sebab ketakutan ataupun dalam keadaan safar."


Tentunya tidak ada sebab kecuali di situ ada udzur sakit, ini yang menjadikan sakit masuk di dalamnya perkara-perkara yang menjadikan dia kesulitan.


Kemudian juga Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


أمر المستحاضة بالجمع بين الصلاتين


Rasulullah juga menyuruh seorang wanita yang dalam keadaan istihadhah, maka dia disuruh untuk menggabungkan di antara shalat itu karena istihadhah adalah bagian dari penyakit yang ada dalam diri seorang wanita.


Dan dikatakan kepada Ibnu Abbas dalam hadits sebelumnya, kenapa dia melakukan hal tersebut?


كي لا يُحرِجَ أمَّتَه


Supaya Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ tidak memberatkan umatnya, sehingga Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ mencontohkan dan memerintahkan orang yang mendapatkan kesulitan untuk menggabungkan di antara dua shalatnya.


Sehingga siapapun, seseorang yang mendapatkan مَشَقَّة atau kesulitan maka dia diperbolehkan untuk menjamaknya.


Misalnya; ketika dalam keadaan hujan yang sangat lebat sehingga bajunya basah, maka ini bagian dari kesulitan yang didapatkan, atau dia dapatkan lumpur yang sangat tebal sehingga dia sulit untuk berjalan, maka ini bagian dari مَشَقَّة (kesulitan) atau ada angin yang kencang dan sebagainya, atau hal-hal lain yang dia merasa bahwa dengan jamak ini bisa meringankan urusan dia, maka diperbolehkan menjamak shalatnya selama udzur-udzur tersebut adalah udzur yang mubah dan tidak berbau kemaksiatan.


*Batasan menjamak yang disyari'atkan*


Kemudian kita ingin membicarakan, batasan diperbolehkan atau disyariatkannya untuk dijamak.


Batasan untuk menjamak shalat tentunya sebagaimana yang telah kita pelajari sebelumnya bahwa jamak shalat adalah jamak shalat di antara shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya, baik dia dalam keadaan safar ataupun tidak, selama di situ ada sebab atau udzur maka diperbolehkan untuk menggabungkan di antara العشاءين والظهرين.


Artinya dua shalat Isya (Maghrib dan Isya) atau shalat Zhuhur dan shalat Ashar sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang telah lampau. Dan ini pun telah dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan yang lainnya.


Di antara sebab diperbolehkannya untuk menggabungkan shalat ini karena di situ ada مَشَقَّة (kesulitan).


Lalu bagaimana seandainya seseorang tertidur sehingga dia tertinggal beberapa shalat yang ada dari Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya bahkan Subuh dan sebagainya karena tertidur atau karena pingsan dan sebagainya.


Tentunya dia diperbolehkan untuk menggabungkan semuanya pada saat tersebut, tidak hanya terbatas ketika shalat Zhuhur dan Ashar saja atau Maghrib dan Isya saja.Tidak perlu untuk menunggu keesokan harinya untuk menggabungkan, karena Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ telah mengatakan,


_"Barangsiapa yang tertidur dari shalatnya atau dia lupa maka hendaknya dia menggabungkan shalatnya ketika dia ingat."_


Karenanya dia diperbolehkan untuk menggabungkan atau menjamak shalat-shalat yang tertinggal sebelumnya walaupun itu lebih dari dua shalat.


_Wallahu ta'ala a'lam bishshawab._


Semoga dengan kita mempelajari (shalat) jamak ini kita merasa yakin dan lebih yakin lagi bahwa syari'at Islam adalah syari'at yang memudahkan pemeluknya. Sehingga kita pun bisa benar-benar memuliakan syari'at Islam ini dan berusaha menggunakannya sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam._ Juga tidak boleh untuk bermudah-mudahan atau lalai di dalam masalah ini sehingga menggampangkan urusan yang telah Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ mudahkan.


_Wallahu ta'ala a'lam bishshawab._


Semoga bermanfaat.


و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

Senin, 29 Januari 2024

SHALAT ORANG YANG MEMILIKI UDZUR

 🔊 *MATERI 05 : SHALAT ORANG YANG MEMILIKI UDZUR*

📆 Jum'at, 14 Rajab 1445 H/26 Januari 2024 M

👤 Ustadz Mu'tashim, Lc., M.A.

📗 Fiqih : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Pada kesempatan kali ini kita akan membicarakan tentang shalatnya orang-orang yang mempunyai udzur bagaimana mereka melakukan shalat.


Yang dimaksud orang yang mempunyai udzur adalah orang-orang yang dalam keadaan sakit atau orang dalam keadaan safar. Sehingga mereka tidak bisa berdiri atau mereka dalam keadaan mempunyai sebab dan ketakutan, sehingga mereka tidak bisa menjalankan shalat dalam keadaan sempurna.


Maka orang-orang yang mempunyai sifat seperti ini, syari'at telah memberikan keringanan kepada mereka, sehingga mereka shalat sesuai dengan kemampuan mereka.


Sebagaimana yang Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ firmankan,


لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ


Bahwa, _"Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kemampuannya."_ (QS. Al-Baqarah: 286).


Dan apa yang Allah firman,


فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ


_"Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian."_ (QS. At-Taghabun: 16).


Sehingga setiap didapatkan kesulitan, maka Islam telah memberikan kemudahan bagi dia.


*Tata cara shalat orang sakit*


Lalu bagaimana seorang yang sakit di dalam menjalankan shalatnya? Orang yang dimaksudkan sakit di sini tentunya adalah orang yang sakit badannya, sehingga dia tidak bisa sempurna untuk menjalankan aktifitas atau gerakan-gerakan shalat yang sesuai dengan standar atau apa yang telah diperintahkan kepada dia.


Sehingga bagi orang yang sakit yang tidak mampu untuk berdiri maka diharapkan dia duduk, apabila dia tidak bisa rukuk secara sempurna, maka dia pun bisa menyandarkan tubuhnya ke dinding, ke tongkat atau yang lainnya.


Artinya bahwa dia melakukan sesuai dengan kemampuannya sambil berusaha untuk bisa menyempurnakan sesempurna mungkin, sebisa mungkin posisi gerakan-gerakan yang diperintahkan Allah _Subhanahu wa Ta'ala_.


Apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ sabdakan,


وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‏


_"Apabila kalian diperintahkan dengan suatu perintah, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian."_ (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).


Bila memang tidak mampu untuk duduk maka dia bisa berbaring, sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


صَلِّ قَائِمًا , فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا , فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ


_"Maka shalatlah dalam keadaan berdiri apabila tidak mampu maka duduklah, apabila tidak mampu duduk maka dengan berbaring.”_ (Hadits riwayat Imam Al-Bukhari).


Bila ini semua dirasakan masih sulit maka lakukan sesuai dengan kemampuan dia, sebagaimana yang tadi telah dikatakan oleh Allah _Subhanahu wa Ta'ala_,


فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ


_"Maka bertakwalah! Jalankan ketaatan kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian."_


Sehingga yang harus dipahami di sini, shalat tidak menjadi gugur dalam keadaan apapun seorang hamba selama dia masih berakal dan sadar untuk melakukan shalat, maka dia harus menjalankan shalat. Walaupun dia shalat dengan menggerakkan isyarat atau dengan memiringkan atau mencondongkan salah satu badan dan sebagainya, dengan kepalanya dan seterusnya.


Maka kewajiban shalat bagi orang yang sakit atau siapapun dia yang masih mempunyai akal untuk dia meniatkan melakukan ibadah shalat dan akalnya mampu untuk mencerna apa yang dia harus lakukan. Maka dia tetap harus menjalankan shalat.


Misalnya ketika seorang yang sedang sakit, shalat dalam keadaan duduk, maka ketika dia rukuk dia mencoba untuk mencondongkan kepalanya, kemudian ketika dia sujud maka sujudnya lebih rendah daripada rukuknya dan sebagainya.


Maka lakukan sesuai dengan kemampuan baik dalam keadaan dia duduk ataupun berbaring atau dalam keadaan tidur dan sebagainya.


Maka dia harus melakukan sesuai dengan kemampuannya.


_Wallahu ta'ala a'lam wa bishawab._


Semoga bermanfaat.


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

BERBAGAI MACAM HUKUM MENJADI IMAM DAN MAKMUM

 🔊 *MATERI 04 : BERBAGAI MACAM HUKUM MENJADI IMAM DAN MAKMUM*


📆 Kamis, 13 Rajab 1445 H/25 Januari 2024 M

👤 Ustadz Mu'tashim, Lc., M.A.

📗 Fiqih : Modul 03

🌐 https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para hamba Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ yang berbahagia.


Pada kesempatan kali ini kita akan sedikit membahas berkaitan dengan bacaan Al-Fatihahnya makmum, apakah seorang makmum masih diwajibkan untuk membaca surat Al-Fatihah ketika makmum shalat bersama imam?


Terkait hal ini sebagian para ulama mengatakan bahwa bacaan imam sudah mencukupkan untuk makmumnya ketika shalat-shalat yang jahriyyah atau yang dikeraskan bacaannya. Adapun ketika shalat sirriyyah maka makmum masih berkewajiban untuk membaca surat Al-Fatihah.


Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah _radhiyallahu ta'ala 'anhu_ yang marfu',


وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا


_"Apabila imam membaca maka hendaknya makmum diam."_


(Hadits riwayat Imam At-Tirmidzi,  Abu Dawud dan yang lainnya).


Ini menunjukkan bahwa cukup bagi seorang makmum mendengarkan apa yang dibaca oleh imam dan tidak perlu untuk membaca surat Al-Fatihah atau surat yang lainnya.


Kemudian apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ sabdakan,


من كانَ له إمامٌ فقراءةُه لهُ قراءةٌ


_"Barangsiapa mempunyai imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya (makmum)."_


Sedangkan shalat sirriyyah imam tidak menanggung bacaan Al-Fatihah dari makmum, artinya makmum harus tetap membaca surat Al-Fatihah dalam keadaan shalat sirriyyah (bacaan tidak dikeraskan).


*Makmum tidak boleh mendahului imam*


Kemudian terkait dengan larangan makmum mendahului imam, tentunya ini sesuatu yang diharamkan dan tidak boleh karena makmum harus melakukan sesuatu setelah imam melakukan sesuatu tersebut atau bahkan makmum tidak boleh menyamai imam, artinya ketika imam telah melakukan dengan sempurna baru makmum melakukan apa yang telah dilakukan oleh imam.


Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ و إذا سجد فاسجدوا


_"Maka imam itu dijadikan untuk diikuti, apabila imam bertakbir maka bertakbirlah, apabila imam telah rukuk maka rukuklah, apabila imam telah mengatakan ' سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ' maka bacalah 'رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ', apabila imam telah sujud maka sujudlah."_


(Hadits shahih riwayat Al-Bukhari, no. 389 dan Muslim, no. 411).


Ini menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan untuk mendahului imam bahkan menyamai imam, setelah imam selesai dan sempurna dari gerakannya maka baru makmum melakukan apa yang dilakukan oleh imam. Sehingga ini tidak menyelisihi sunnah Nabi _shallallahu 'alayhi wa sallam_ karena hal ini bisa merusak shalatnya.


Apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ katakan,


لَا تسبقوني بالركوع ولا بالسجود ولا بالقيام


_"Janganlah kalian mendahuluiku dengan rukuk, sujud, dan berdiri."_


(Hadits shahih riwayat Muslim, no.416).


Larangan Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ ini menunjukkan tentang keharamannya, dengan apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ juga katakan di dalam hadits dari Abu Hurairah,


أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حمَار


_"Maka takutlah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam mengangkat kepalanya, maka bisa jadi Allah _Subhanahu wa Ta'ala\ _akan gantikan kepalanya dengan kepala keledai."_


Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.


Karenanya dilarang dan diharamkan bagi seorang makmum untuk mendahului imam.


Apa yang tadi kita katakan bahwa gerakan makmum setelah melihat imam telah sempurna dari gerakannya. Misalnya ketika imam mengatakan, "Allahu Akbar", maka setelah imam selesai mengatakan, "Allahu Akbar",  maka makmum baru melakukannya (mengatakan “Allahu Akbar”).


Ketika imam melakukan salam (السلام عليكم ورحمة الله  x2), setelah selesai imam melakukan salam tersebut, maka baru makmum melakukan salam. Jangan sampai seorang imam belum selesai salam (baru mendapatkan seperempat atau setengahnya) kemudian makmum mendahului dalam melakukan apa yang dilakukan imam (salam).


Semoga bermanfaat, dan menjadikan shalat kita lebih sempurna, lebih khusyuk dan sesuai dengan apa yang disyari'atkan oleh Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_.


Kemudian kita akan membicarakan hukum-hukum yang masih tersisa yang berkaitan dengan Imamah dan Jama'ah


*Hukum menjadi imam dan jama'ah*


Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, di antaranya:


⑴ Disunnahkan orang yang berada di dekat imam adalah orang-orang yang mengetahui tentang hukum dan tentang agamanya. Sehingga yang didahulukan adalah mereka (orang-orang) yang mempunyai keutamaan dari ilmunya, dari posisinya, dari akal dan sebagainya.


Sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ  ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ


_"Hendaknya orang yang berikutku dari kalian adalah mereka orang-orang yang mempunyai akal dan pikiran (artinya mempunyai ilmu), kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka."_


(Hadits riwayat Imam Muslim).


Hikmah dalam hal ini, dia bisa membenarkan atau bisa menggantikan imam ketika imam berhalangan untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang imam.


Kemudian hukum lainnya yang berkaitan dengan imamah dan makmum, adalah:


⑵ Hendaknya seseorang semangat untuk berada di shaf yang pertama. Ini disunnahkan bagi makmum untuk terus merapatkan shafnya dan mencoba untuk mendekat ke shaf yang pertama dan berhati-hati dengan shaf yang terakhir.


Sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا


_"Apabila manusia mengetahui dengan apa yang ada dipanggilan adzan dan shaf yang pertama maka mereka akan bersegara untuk mendapatkannya. Apabila mereka tidak mendapatkan kecuali dengan berjuang dan berebut maka mereka akan memperebutkannya."_


(Hadits riwayat Imam Muslim).


Adapun seorang wanita maka disunnahkan berada di shaf yang terakhir atau bahkan paling belakang dari shaf para wanita, sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_, _"Sebaik-baik shaf laki-laki adalah awalnya sedangkan yang paling buruk bagi laki-laki adalah paling belakangnya. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah paling akhirnya dan seburuk-buruk shaf bagi wanita adalah yang pertama dari wanita."_ (Hadits riwayat Imam Muslim).


Kemudian hal berikut yang perlu diperhatikan.


⑶ Hendaknya imam merapatkan shaf sebelum memulai shalat karena ini berkaitan dengan kesempurna imam dan apa yang dilakukan oleh Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ untuk menutup celah atau lubang yang ada sebelum memulai shalat.


Sebagaimana yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ lakukan dan apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ sabdakan,


سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ من تمام الصَّلَاة


_"Luruskanlah shaf kalian karena sesungguhnya lurusnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat."_ (Hadits riwayat Muslim).


Kemudian apa yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas ibnu Malik _radhiyallahu ta'ala 'anhu_, beliau mengabarkan bahwa posisi shaf mereka (para sahabat) adalah dengan menempelkan pundak dengan pundak dan mata kaki dengan mata kaki. Sebagiaman hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.


Kemudian hal yang lain adalah hukum seseorang yang berada sendirian di belakang shaf, maka bila seseorang melakukan shalat sendiri di belakang shaf padahal dia mendapatkan celah untuk merapat ke shaf di depannya, maka shalatnya tidak sah.


Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


لَا صَلَاةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ اَلصَّفِّ


_"Maka tidak ada shalat bagi seseorang yang sendirian berada di belakang shaf."_


Dan hal ini sebagaimana yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ lakukan ketika melihat salah seorang sahabat yang melakukan shalat sendirian di belakang shaf,  kemudian Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ menyuruh sahabat tersebut untuk mengulang shalat. (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy _rahimahullahu ta'ala_).


Hal ini perlu kita perhatikan bagi kita yang shalat berjama'ah bersama imam. Maka dengan ini kita berharap Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ menjadikan shalat kita shalat yang diterima dan kita semakin khusyuk dan sesuai dengan sunnah Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_.


_Wallahu ta'ala a'lam bishshawab._


و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

QASHAR SHALAT

 🔊 *MATERI 06 : TERKAIT QASHAR SHALAT*

📆 Senin, 17 Rajab 1445 H/29 Januari 2024 M

👤 Ustadz Mu'tashim, Lc., M.A.

📗 Fiqih : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Insyaallah pada kesempatan kali ini kita akan membicarakan tentang shalat seorang musafir, berkaitan dengan hukum qashar dan batasan seseorang diperbolehkan untuk mengqashar ketika dalam keadaan safar.


*Hukum mengqashar shalat*


Bahwa tidak ada perbedaan di antara ahlul ilmi tentang disyari'atkannya mengqashar shalat yang empat raka'at. Dalilnya berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan juga Ijma ulama.


Di antara dalil Al-Qur'an adalah apa yang Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ firmankan di dalam surat An-Nisaa ayat 101.


Allah _Ta'ala_ berfirman,


وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ


_"Apabila kalian melakukan safar maka tidak mengapa kalian melakukan shalat dengan mengqasharnya."_


Kemudian juga apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Umar, mengenai pernyataan bahwa selama beliau bersama Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ dalam keadaan safar, maka Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ tidak pernah menambah shalat yang empat raka'at itu dengan dua raka'at saja. Artinya tetap Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ senantiasa melakukan shalat dua raka'at sampai Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ meninggal.


Kemudian Ibnu Umar juga mengatakan, bahwa aku bersama Abu Bakar, beliau juga tidak menambah lebih dari dua raka'at sampai Abu Bakar meninggal.


Dalam hadits yang lain Ibnu Umar mengatakan,


إِنَّ اَللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى  رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ


"Bahwa Allah mencintai untuk didatangi rukhsah (keringanan) nya sebagaimana Allah membenci untuk dilakukan kepada dia kemaksiatannya."


(Hadits riwayat Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy).


Dan secara ijma tidak ada perbedaan sama sekali mengenai hukum diperbolehkannya mengqashar sehingga dengan ini disunnahkan untuk tetap menjaga, untuk melakukan qashar lebih utama dan lebih baik daripada meninggalkannya.


Bahkan sebagian ahlul ilmi mengatakan, untuk dimakruhkan menyempurnakan shalat selama safarnya, karena mengingat bagaimana Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ terus menerus melakukan qashar di dalam perjalanannya, juga para sahabat mengikuti Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ dalam mengqashar shalat selama dalam perjalanan.


*Shalat yang boleh diqashar*


Kemudian kita ketahui bahwa shalat yang diqashar adalah shalat yang hanya memiliki empat raka'at saja, artinya tidak diperbolehkan untuk mengqashar shalat-shalat yang tidak mempunyai empat raka'at.


Artinya shalat Shubuh tidak boleh diqashar, shalat Maghrib tidak boleh diqashar.


Yang diperbolehkan adalah shalat Zhuhur kemudian shalat Ashar dan shalat Isya, selainnya tidak diperbolehkan.


Sebagaimana perkataan Abdullah Ibnu Abbas _radhiyallahu ta'ala 'anhuma_,


فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ ........ رَوَاهُ مُسلم


"Bahwa Allah mewajibkan buat kalian melalui lisan para Nabi-Nya untuk melakukan shalat empat raka'at ketika tidak dalam keadaan safar dan ketika safar dengan dua raka'at."


(Hadits riwayat Imam Muslim).


*Batasan safar yang di dalamnya shalat boleh diqashar*


Kemudian batasan safar yang diperbolehkan untuk dilakukan shalat dengan keadaan qashar, maka di sini ada perbedaan di antara para ulama mengenai batasan-batasannya.


Penulis di sini menetapkan bahwa batasan safar yang diperbolehkan untuk diqashar adalah 48 mil atau sekitar 80 km, di mana biasanya jarak ini ditempuh selama dua hari menggunakan perjalanan yang standar dengan menggunakan kaki.


Sehingga Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ menamakannya dengan (يوماً وليلة سفراً) perjalanan sehari semalam dengan safar.


Ini pun dilakukan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ketika keduanya mengqashar dalam jarak yang tadi kita sebutkan, sekitar 80 km atau 48 mil.


Sedangkan macam dari safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalatnya adalah

① Safar yang mubah, baik untuk berdagang, untuk rekreasi, atau pun

② Safar wajib seperti safar untuk melakukan haji atau jihad, atau

③ Safar yang disunnahkan seperti safar untuk ziarah atau safar yang kedua kalinya di dalam melaksanakan ibadah haji.


Sedangkan safar yang dipergunakan untuk sesuatu yang diharamkan maka tidak boleh untuk mengqashar shalatnya sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa tidak boleh mengqashar ketika niat (tujuan) safar untuk melakukan kemaksiatan.


*Apakah orang yang berniat tinggal (muqim) itu boleh mengqashar*


Kemudian apakah seseorang yang niat untuk muqim dan tinggal di situ, diperbolehkan untuk mengqashar shalatnya?


Maka di sini ada perbedaan di antara para ulama, ketika seorang musafir kemudian dia tinggal (menetap) di suatu tempat dan tidak ke mana-mana. Maka bisa kita katakan (bisa kita jelaskan), Barangsiapa yang dia menetap di situ selama empat hari atau kurang dari itu maka dia diperbolehkan untuk mengqashar.


Namun apabila dia niat dan kemungkinan besar kebutuhan dia di tempat itu lebih dari empat hari, maka hendaknya dia menyempurnakan shalatnya.


Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ahmad di dalam Kitab Al-Mughni dan disebutkan juga oleh Syaikh Bin Baz di Majmu' Al-Fatawa.


Apa yang dikatakan oleh Anas bin Malik _radhiyallāhu 'anhu_, beliau mengatakan,


أقمنا بمكة عشراً نقصر الصلاة


"Bahwa kami tinggal di Mekkah selama sepuluh hari, kemudian kami melakukan qashar."


Bahwa yang dimaksudkan di sini dia belum mengetahui sampai kapan dia menunaikan (menuntaskan) urusannya.


Bila dia tidak mengetahui sampai kapan maka diperbolehkan dia melakukan qashar walaupun lebih dari sepuluh hari, walaupun lebih dari dua puluh hari dan sebagainya karena tidak ada kejelasan sampai kapan dia menuntaskan pekerjaan atau kebutuhannya tersebut.


Sehingga kita katakan bahwa diperbolehkan qashar apabila dia tinggal sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada niat untuk menetap lebih dari empat hari dan seterusnya. Dia tidak mengetahui sampai kapan dia berada di situ.


Atau dalam keadaan dia ditahan oleh orang-orang yang zhalim atau dia tertahan dengan hujan atau hal-hal lain, walaupun dalam waktu yang panjang maka dia tetap diperbolehkan untuk melakukan qashar.


Apa yang dikatakan Ibnu Al-Mundzir,


أجمعوا على أن المسافر يقصر ما لم يُجْمع إقامة


Bahwa ulama sepakat mengenai seorang musafir dia diperbolehkan untuk mengqashar selama dia tidak ada niat untuk tinggal di dalamnya walaupun dalam keadaan yang lama.


_Wallahu ta'ala a'lam bishawab._


Semoga bermanfaat.


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

Kamis, 25 Januari 2024

Maafkan Dia... Sebuah Kisah yang Menginspirasi Hidupmu

 Maafkan Dia... Sebuah Kisah yang Menginspirasi Hidupmu


Kisah yang menginspirasi ini diceritakan oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr:


Ini adalah adalah kisah Abu Bakar dan Misṭaḥ. 


Misṭaḥ berasal dari kalangan Muhajirin, termasuk orang Muhajirin yang fakir. Ia masih termasuk kerabat Abu Bakar As-Siddiq. 


Abu Bakar menanggung nafkah Misṭaḥ. Abu Bakar memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhannya. 


Namun, Misṭaḥ ternyata ikut andil dalam menyebarkan Ḥādiṡatul Ifki. Sebuah fitnah dusta yang menimpa ibunda kaum mukminin, Aisyah--semoga Allah meridai beliau--hingga turun ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang kesucian Aisyah dari fitnah ini. 


Ketika kabar ini sampai kepada Abu Bakar--semoga Allah meridai beliau--bahwa Misṭaḥ termasuk orang-orang yang menyebarkan kabar dusta itu, Misṭaḥ ikut memfitnah Aisyah, Abu Bakar bersumpah dengan nama Allah bahwa beliau tidak akan menafkahi Mistah lagi.


Ketika turun ayat yang menjelaskan kesucian Aisyah Ibunda kaum mukminin--semoga Allah meridai beliau--di antara isi dari ayat ini adalah firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,


وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


"Janganlah orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah, bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabat mereka, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, maka HENDAKLAH MEREKA MEMBERI MAAF dan AMPUNAN. Bukankah kalian suka jika Allah mengampuni kalian?" (QS. An-Nur: 22) 


Ketika Abu Bakar mendengar hal ini, ketika ayat ini sampai kepada beliau, beliau langsung berkata, 


"Ya, tentu saja!" 


Beliau langsung berkata, 


"Ya, tentu saja!" 


Mengisyaratkan bahwa Abu Bakar langsung mematuhi perintah dalam ayat tersebut.


Kemudian Abu Bakar kembali menafkahi Misṭaḥ, langsung, tanpa berpikir panjang.


Ayat ini tidak khusus untuk Abu Bakar--semoga Allah meridai beliau--sehingga hikmahnya dipetik berdasarkan keumuman ayat ini, oleh sebab itulah Allah berfirman,


"Janganlah orang yang mempunyai kelebihan di antara kamu bersumpah, …"


Ini bisa mencakup siapa saja yang tertimpa hal serupa, atau hal yang mirip seperti itu atau semacam itu, maka hendaknya dia merenungkan keagungan makna ayat ini dan memperhatikan firman Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi:


أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ


"Bukankah kalian suka jika Allah mengampuni kalian?" (QS. An-Nur: 22) 


Abu Bakar berkata, "Ya, tentu saja! Ya, tentu saja!" dan langsung menafkahi Misṭaḥ lagi.


KISAH MEMAAFKAN YANG LAIN


Syaikh Abdurrazzaq al-Badr kembali bercerita:


Pada kesempatan ini, aku ceritakan pada kalian sebuah kisah yang menakjubkan, sangat bagus, dan sangat menyentuh jiwa. 


Di masjid ini, di antara jamaah mulia yang pernah datang ke sini, seorang laki-laki, dia pernah duduk berdua bersamaku dan mulai berbincang-bincang denganku tentang salah seorang kerabatnya, dia berkata, 


"Aku jauhi dia karena Allah dan aku tidak berbicara dengannya." 


Dia yang diceritakan oleh laki-laki ini adalah suami saudarinya (adik iparnya).


Syaikh Abdurrazzaq meneruskan kisahnya: 


Laki-laki yang berbincang dengan saya ini dahulu adalah orang kaya dan pedagang sukses, sedangkan suami saudarinya itu orang miskin, tidak punya apa-apa. 


Laki-laki itu berkata, "Aku adalah pedagang dan punya harta, aku sangat ingin saudariku dan anak-anaknya serta suaminya hidup dengan penghidupan yang baik."


"Sehingga aku menuliskan sertifikat sebuah bangunan yang terdapat padanya sebuah toko, aku tulis sertifikatnya atas nama lengkapnya."


Laki-laki itu berkata kepada adik iparnya itu, "Ini adalah hadiah dariku untukmu dan tinggallah di sini."


Laki-laki itu terus bercerita,


"Kemudian, setelah beberapa lama, Allah mentakdirkan bahwa usaha dagang saya bangkrut."


"Hingga aku tidak memiliki apa-apa, dan tidak ada yang ada di benakku kecuali ipar saya tadi."


"Kemudian aku pergi menemuinya, aku beramah-tamah dengannya, dan aku berkata kepadanya bahwa aku sedang membutuhkan tempat yang bisa aku tempati sementara waktu hingga aku bisa mengatur kembali kehidupanku."


"Dia malah mengusir, mencelaku, dan berkata kasar kepadaku, … bahkan mengingkari pemberianku kepadanya."


"Maka kemudian aku menjauhinya dan aku putuskan hubunganku dengannya sejak hari itu."


Syaikh Abdurrazzaq meneruskan ceritanya:


Ketika itu orang ini berbincang kepadaku dengan rasa sakit hati yang sangat, aku (Syaikh) berkata kepadanya, 


"Walaupun dengan semua hal yang telah dilakukan oleh kerabatmu tersebut, apakah mempengaruhi kehormatanmu? Apakah dia merusak kehormatan dan kemuliaanmu dan keluargamu?"


Laki-laki itu menjawab, "Tidak sama sekali!"


Syaikh lantas berkata, "Seandainya dia merusak kehormatanmu, itu masalah yang lebih berat atau lebih ringan?"


Laki-laki itu menjawab, "Tidak, tentu itu lebih berat. Urusan dunia tidak sebanding dengan urusan kehormatan."


Syaikh lalu berkata, "Masalah kehormatan lebih berat bagimu?" 


Laki-laki itu menjawab, "Iya."


Lalu Syaikh Abdurrazzaq membacakan ayat ini dan mengisahkan kepadanya kejadian yang menimpa Abu Bakar di atas.


Langsung laki-laki itu berkata, "Selesai urusan!" 


"Masalah selesai!"


Mengisyaratkan bahwa laki-laki itu telah memaafkan iparnya.


Laki-laki itu berkata, "Selesai sudah, tidak ada apa-apa lagi dalam hatiku!"


Sebenarnya, nilai-nilai seperti ini harus bisa kita pahami, sehingga kita mengerti betapa agungnya sifat pemaaf walau apa pun yang terjadi, kita tetap meyakini firman Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi ini:


أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ


"Bukankah kalian suka jika Allah mengampuni kalian?" (QS. An-Nur: 22)


Hendaknya hal ini selalu ada dalam diri seseorang, jangan sampai hilang!


Karena betapa banyak kejadian antar kerabat; saling boikot dan memutus hubungan karena urusan dunia yang sepele namun dibesar-besarkan oleh setan dalam hati mereka, hingga hubungan mereka terputus terus menerus hingga turun kepada anak-anak mereka, dan begitu seterusnya. Apa manfaat yang seseorang harapkan dari perbuatan semacam itu?


Maaf dari Allah dan ampunan-Nya jauh lebih agung. 


Oleh karena itu, hendaknya seseorang memaafkan agar Allah memaafkannya, memberi ampunan agar Allah mengampuninya, dan mengharapkan dari hal tersebut apa yang ada di sisi Allah.


Jangan melihat kepada orang yang menyakitinya atau menyusahkannya bahwa dia pantas untuk dimaafkan atau tidak, jangan lihat hal ini! 


Lihatlah betapa agungnya apa yang ada di sisi Allah, sehingga dia memaafkan agar Allah memaafkannya, dan memberi ampunan agar Allah Subḥānahu wa Ta’alā mengampuninya. 


Sebagaimana yang dikisahkan oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah di video Nasehat Ulama Yufid, ditulis ulang dengan penyesuaian oleh tim Yufid.

Rabu, 24 Januari 2024

YANG BERHAK MENJADI IMAM, YANG DIHARAMKAN & DIMAKRUHKAN

 🔊 *MATERI 03 : YANG BERHAK MENJADI IMAM, YANG DIHARAMKAN & DIMAKRUHKAN*

📆 Rabu, 13 Rajab 1445 H/24 Januari 2024 M

👤 Ustadz Mu'tashim, Lc., M.A.

📗 Fiqih : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Para hamba Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ yang berbahagia.


Setelah kita mempelajari tentang keutamaan shalat berjama'ah dan hukum shalat berjama'ah maka ada beberapa hal yang perlu untuk kita pelajari antara lain,


*Siapakah yang paling berhak menjadi imam*


Siapakah yang paling berhak menjadi imam di antara kaum muslim pada saat itu, karena kita dapatkan di masyarakat kita ada sebagian yang sembarang untuk maju menjadi imam padahal bacaannya kurang benar dan sebagainya.


Karenanya perlu kita mengetahui dan kita mengajarkan kepada masyarakat kita siapakah yang berhak untuk menjadi imam untuk memimpin shalat berjama'ah.


Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ telah menerangkan tentang hal ini sebagaimana dalam sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya.


يَؤُمُّ اَلْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اَللَّهِ, فَإِنْ كَانُوا فِي اَلْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ, فَإِنْ كَانُوا فِي اَلسُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً, فَإِنْ كَانُوا فِي اَلْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا


_"Bahwa yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling bagus bacaannya terhadap Kitab Allah, kemudian apabila dalam hal bacaan sama maka yang paling mengetahui tentang sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apabila di dalam hal yang sunnah, di dalam pengetahuan terhadap hal yang sunnah sama maka yang paling terlebih dahulu hijrah, kemudian apabila ketika hijrah sama maka yang paling lamanya mereka masuk ke dalam agama Islam."_


(Hadits shahih riwayat Muslim, no. 673).


Di sini ada beberapa tahapan yang perlu untuk kita perhatikan :


⑴ Yang paling berhak untuk menjadi imam adalah yang paling bagus bacaannya, sehingga imam bisa memimpin dengan bacaan yang bagus.


Namun bila ada seseorang yang bacaannya bagus namun pengetahuan terhadap agama (fiqih shalat) kurang. Siapakah yang paling berhak? Apakah yang paling bagus bacaannya atau dia yang paling bagus agama (fiqih shalat) nya?


Maka di sini para ulama mengarahkan supaya yang paling berhak adalah mereka yang paling bagus agamanya, paling bagus pemahaman terhadap masalah ibadah shalatnya tersebut. Karena pemahaman atau fiqih ibadah lebih didahulukan daripada bacaan, apabila bacaannya pun juga masih bisa diterima.


⑵ Yang paling paham terhadap masalah sunnah, sebagaimana yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ telah katakan.


Kemudian setelah itu (tahapannya) adalah;


⑶ Yang paling lama, yang paling terlebih dahulu hijrahnya dari negeri kafir ke negeri Islam.


Kemudian apabila ternyata poin yang pertama bacaannya bagus kemudian pemahaman terhadap sunnah juga bagus, kemudian hijrahnya juga sama.


⑷ Maka yang paling terlebih dulu masuk ke dalam agama Islam.


⑸ Baru setelah itu yang paling tua umurnya apabila keempat hal yang sebelumnya ternyata sama, sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_, _"Dan hendaknya yang menjadi imam buat kalian adalah yang paling tua umurnya dari kalian."_


Kemudian yang perlu diperhatikan, tanpa memperhatikan hal-hal yang lainnya, yang paling berhak menjadi imam ketika bacaannya masih standar, masih normal, dan sebagainya, pengetahuannya juga normal, maka yang paling berhak menjadi imam adalah pemilik rumah (shahibul bait).


Dia (pemilik rumah) lebih berhak menjadi imam bagi para tamunya sebagaimana yang Rasulullah _shallallahu alaihi wa sallam_ sabdakan,


لَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي أهله ولا في سُلْطَانِهِ


_"Hendaknya seorang itu tidak menjadi imam buat pemilik rumah dan juga para pemilik kekuasaan (penguasa)."_


(Sebagaimana Hadits yang di riwayat Imam Muslim).


Makanya di sini kita katakan bahwa para penguasa dan para pemilik rumah, dia yang paling berhak menjadi imam untuk memimpin shalat yang ada di dalam kekuasaannya. Baru setelah itu kita memperhatikan apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ tunjukan dari kriteria-kriteria yang berhak untuk menjadi imam.


Kemudian pada kesempatan kali ini kita akan membicarakan tentang siapa yang diharamkan atau dimakruhkan untuk menjadi seorang imam.


*Orang Yang Haram Menjadi Imam*


Diantara orang yang diharamkan menjadi imam ada beberapa keadaan sebagai berikut, di antaranya;


١. إمامة المرأة بالرجل


⑴ Seorang wanita yang mengimami para lelaki, ini tentunya diharamkan. Sebagaimana hadits Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ yang umum,


لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً


_"Maka tidak bahagia suatu kaum yang menjadikan pemimpin mereka adalah para wanita."_


(Hadits shahih riwayat Al-Bukhari, no. 4425).


Dan ini pun telah kita ketahui bahwa asal dari shafnya para wanita adalah ada di belakang, maka bila para wanita menjadi imam tentunya ini menyelisihi dari apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ telah tetapkan.


٢. إمامة المحدث ومن عليه نجاسة


⑵ Orang yang berhadats yang tidak berwudhu dan ada di dalamnya najis, maka ia tidak berhak untuk menjadi imam (tidak boleh menjadi imam) kalau dia mengetahui. Namun bila dia tidak mengetahui kemudian sampai dia selesai (shalat), maka shalatnya makmum tetap sah, maka imam yang tadi tidak mempunyai wudhu tersebut dia harus mengulangi shalatnya.


٣. أمامة الأمي


⑶ Bahwa imamnya orang yang tidak mengetahui bacaan shalat terutama bacaan Al-Fatihah, maka dia tidak berhak (tidak boleh) untuk menjadi imam.


٤. إمامة الفاسق المبتدع


⑷ Seorang yang ahlul maksiat kemudian ahlul bida', maka dia tidak layak untuk menjadi imam dan tidak sah shalatnya di belakang dia ketika kefasikannya dan kebid'ahannya itu sampai mengeluarkan dia dari keislaman, ketika dia melakukan hal-hal yang kufur, hal-hal yang menjadikan dia murtad, kafir dan sebagainya. Maka dia tidak layak untuk menjadi seorang imam.


⑸ Orang yang lemah untuk melakukan rukuk, melakukan sujud, melakukan berdiri, melakukan duduk dan sebagainya. Maka dia tidak berhak untuk menjadi imam.


Kemudian yang berikutnya ini adalah yang dimakruhkan untuk menjadi seorang imam.


*Orang Yang Dimakruhkan Menjadi Imam*


⑴ Orang yang bacaannya terlalu banyak kesalahannya pada bacaan yang selain Al-Fatihah, orang yang seperti ini maka dia dimakruhkan untuk menjadi imam, selama Al-Fatihahnya benar, namun apabila Al-Fatihahnya banyak kesalahan maka tentunya orang seperti ini dilarang.


Berdasarkan dalil umum yang telah kita baca.


يَؤُمُّ اَلْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ


_"Bahwa yang mengimami suatu kaum adalah yang paling bagus bacaannya."_


⑵ Orang yang mengimami suatu kaum padahal kaum tersebut membenci dia atau tidak menyukai dia atau kebanyakan dari mereka tidak menyukai orang tersebut, maka orang seperti ini dimakruhkan untuk menjadi imam buat orang-orang yang membenci dia.


Sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


ثَلاَثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ


_"Bahwa tiga golongan yang tidak dianggap shalat mereka, tidak diterima shalat mereka di atas kepala-kepala mereka walaupun sejengkal adalah seorang yang mengimami suatu kaum padahal kaum tersebut tidak menyukai orang tersebut…."_


(Hadits yang diriwayat Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam An-Nawawi di Al-Majmu' Al-Fatawa dan dihasankan oleh syaikh Al-Albaniy _rahimahullahu ta'ala_ dalam kitab Shahih Ibnu Majah).


Kemudian yang ketiga yang dimakruhkan untuk menjadi imam adalah


⑶ Orang yang sebagian hurufnya tidak jelas atau samar, dia tidak fasih, dia sering mengulang-ulang bacaan atau huruf-huruf yang ada seperti Fa’fa’a, artinya dia mengulang huruf Fa. Sehingga bacaannya kurang jelas atau bacaannya itu seakan-akan dia berubah dan sebagainya. Maka orang seperti ini dimakruhkan untuk menjadi imam buat orang-orang yang ada di sekitarnya.


_Wallahu ta'ala a'lam bishawab_.


Ini yang bisa kita pelajari dan semoga Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ berikan kita para imam, para pemimpin yang baik dan fasih di dalam dia memimpin.


و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

Selasa, 23 Januari 2024

UDZUR MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA'AH DAN HUKUM MENGULANG JAMA'AH

 🔊 *MATERI 02 : UDZUR MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA'AH DAN HUKUM MENGULANG JAMA'AH*

📆 Selasa, 11 Rajab 1445 H/23 Januari 2024 M

👤 Ustadz Mu'tashim, Lc., M.A. 

📗 Fiqih : Modul 03

🌐 https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد


Masih berkaitan dengan Bab Shalat Berjama'ah.


Pada kesempatan ini kita akan membicarakan tentang siapakah di antara mereka yang diberikan udzur untuk meninggalkan Shalat Berjama'ah.


Siapa Yang Diperbolehkan Untuk Meninggalkan Shalat Berjama'ah Karena Udzur


Ada beberapa golongan atau kelompok atau keadaan yang diperbolehkan untuk meninggalkan shalat berjama'ah, antara lain:


⑴ Bila seseorang mengalami rasa sakit yang menyulitkan dia untuk pergi ke masjid. Sebagaimana firman Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ dalam surat Al-Fath ayat 17.


وَلَا عَلَى ٱلۡمَرِيضِ حَرَجٞۗ


_"Dan begitu pula atas orang yang sakit maka tidak mengapa dia meninggalkan shalat berjama'ah."_


Dan apa yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ sabdakan kepada para sahabat ketika Beliau dalam keadaan sakit. Maka Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ memerintahkan kepada Abu Bakar untuk menggantikan Beliau menjadi imam bersama para sahabat.


Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Muslim.


⑵ Dalam keadaan ketika seseorang sangat lapar dan di depannya ada makanan atau dalam keadaan dia sedang menahan buang air.


Sebagaimana hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,


لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ , وَلَا هُوَ يُدَافِعُ الْأَخْبَثَينِ


"Tidak ada shalat bagi seseorang yang dihadapannya ada makanan, kemudian dalam keadaan seseorang sedang menahan buang air besar atau buang air kecil."


Kemudian keadaan ketiga yang diperbolehkan untuk meninggalkan atau tidak melakukan shalat berjama'ah di masjid adalah:


⑶ Ketika dalam keadaan takut kehilangan terhadap sesuatu baik dari harta atau makanannya atau sesuatu yang akan membahayakan dia. Ini adalah bagian dari udzur yang diperbolehkan untuk meninggalkan shalat berjama'ah.


⑷ Apabila dalam keadaan hujan atau ada lumpur yang sangat tebal, atau salju yang sangat tebal, atau hal-hal lain sehingga menyulitkan dia untuk pergi ke masjid, maka diperbolehkan untuk tidak menghadiri shalat berjama'ah di masjid.


Sebagaimana hadits Ibnu 'Umar _radhiyallahu ta'ala 'anhuma_, dia berkata, "Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ memerintahkan kepada seorang muadzin ketika malam sangat dingin lagi hujan yang sangat lebat. Beliau _shallallahu 'alayhi wa sallam_ memerintahkan,


ألا صلوا في الرحال


_"Supaya kalian wahai kaum muslimin untuk shalat di rumah kalian masing-masing."_


(Hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim).


⑸ Dalam keadaan seseorang merasa kesulitan mengikuti bacaan imam yang sangat panjang. Bila dia merasakan kekhawatiran ini dan dia tidak sanggup mengikuti bacaan imam yang sangat panjang maka diperbolehkan bagi dia untuk tidak mengikuti shalat berjama'ah bersama imam.


Sebagaimana hadits Mu'adz yang menceritakan karena Mu'adz bacaannya sangat panjang sekali kemudian ada seorang sahabat yang shalat sendiri, kemudian Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ mengingkari apa yang dilakukan oleh Mu'adz dan tidak menghardik atau mengingkari shalatnya orang tersebut.


⑹ Bila seseorang merasakan ketakutan apabila dia tertinggal dengan orang atau dengan angkutan yang dipergunakan ketika dia melakukan safar. Apabila dia menunggu shalat jama'ah maka dia akan tertinggal, maka diperbolehkan baginya untuk tidak mengikuti shalat berjama'ah di masjid.


⑺ Bila seseorang merasakan ketakutan dengan kematian kerabatnya atau sahabatnya dan dia tidak berada di sisinya maka diperbolehkan bagi dia untuk mentalqin, untuk menemani orang yang sedang sakaratul maut tersebut dan meninggalkan shalat berjama'ah.


⑻ Ketika dia dalam keadaan untuk menemani orang yang berutang terhadapnya apabila dia tinggalkan maka orang ini lari dan tidak mau membayar utangnya. Maka hal ini pun diperbolehkan untuk tidak melakukan shalat berjama'ah di masjid, karena takut dengan sesuatu yang dikhawatirkan keadaanya menjadi tidak karuan atau menjadi tidak baik.


Ini hal-hal yang dijadikan sebagai udzur bagi kita untuk meninggalkan shalat berjama'ah di masjid, walaupun tetap diharapkan berusaha dan berusaha sekuat mungkin untuk bisa menjalankan shalat berjama'ah di masjid atau melakukan shalat berjama'ah di dalam rumahnya atau di tempatnya. Dengan keutamaan-keutamaan yang telah kita ketahui tentang shalat berjama'ah, terutama shalat berjama'ah di masjid.


Kemudian pada kesempatan kali ini kita akan membicarakan tentang hukum mengulang shalat berjama'ah di masjid dan hukum bila iqamah sudah dikumandangkan.


Hukum Mengulang Shalat Berjama'ah Di Satu Masjid


Maka diperbolehkan seseorang untuk mengadakan jama'ah di masjid yang sama bila seseorang dalam keadaan tertinggal dengan jama'ah sebelumnya.


Sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


صَلَاةُ اَلرَّجُلِ مَعَ اَلرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ


_"Shalat seseorang bersama dengan yang lainnya (berjama'ah) itu lebih baik daripada dia shalat sendirian."_


(Hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasaai).


Kemudian juga sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ ketika mengatakan kepada orang yang tertinggal kemudian menawarkan kepada sahabatnya,


من يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ؟


_"Siapa yang mau bershadaqah terhadap hal ini (kepada orang ini) hendaknya ia shalat bersamanya?"_


Ini menunjukkan bahwa diperbolehkan seseorang mengatakan ini kepada jama'ah yang lain ketika dia dalam keadaan terlambat dengan jama'ah sebelumnya.


Namun bagaimana keadaannya ketika ada masjid yang itu terulang, terulang dan terulang. Artinya diketahui bahwa masjid tersebut mempunyai dua jama'ah. Ada jama'ah pertama, ada jama'ah kedua dan itu sesuatu yang rutin. Maka dalam hal ini hendaknya seseorang tidak melakukan rutinitas dengan mengadakan jama'ah yang berikutnya karena di situ akan menimbulkan fitnah dan akan menjadikan orang yang lainnya memilih shalat pada tahap kedua. Orang itu menjadi malas untuk tetap menjalankan shalat lima waktu pada waktunya bersama imam rawatib.


Hukum Shalat Sunnah Bila Iqamat Untuk shalat Wajib Telah Dikumandangkan


Apa hukum shalat apabila qamat (iqamah) telah dikumandangkan?


Ketika seorang muadzin mengumandangkan iqamah untuk melakukan shalat fardhu maka tidak boleh bagi seseorang untuk memulai shalat nafilah dan disibukkan dengan shalat tersebut karena ada kewajiban yang harus dia perhatikan.


Sebagaimana sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_,


إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَة


_"Apabila iqamah telah ditegakkan maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib."_


(Hadits riwayat Muslim, no. 710).


Dalil yang lain bahwa Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ pernah mendapatkan seseorang yang melakukan shalat padahal muadzin telah mengumandangkan iqamah untuk melakukan shalat subuh. Maka Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ mengatakan kepada dia (orang tersebut),


أَتُصَلِّي الصُّبْحَ أَرْبَعًا ‏؟


_"Apakah kamu akan melakukan shalat subuh empat raka'at?."_


Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ melarang hal tersebut sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.


Lalu bagaimana seandainya seseorang telah melakukan shalat sunnah kemudian iqamah (baru) dikumandangkan, apakah dia membatalkan shalat tersebut atau dia meneruskannya?


Sebagian ahlul ilmi mengatakan apabila dia telah melakukan shalat pada raka'at kedua, hendaknya dia mempercepat shalatnya dan segera menyusul imam yang melakukan takbiratul ihram. Namun apabila dia pada raka'at pertama, hendaknya dia membatalkan shalatnya kemudian masuk shaf untuk melakukan shalat bersama imam.


Semoga bermanfaat.


_Wallahu ta'ala a'lam wa bishawab._


و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

Senin, 22 Januari 2024

KEUTAMAAN SHALAT BERJAMAAH DAN HUKUMNYA

 🔊 *MATERI 01 : KEUTAMAAN SHALAT BERJAMAAH DAN HUKUMNYA*


📆 Senin, 10 Rajab 1445 H/22 Januari 2024 M

👤 Ustadz Mu'tashim, Lc., M.A.  

📗 Fiqih : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

الحمد لله والصلاة و السلام على رسول الله وبعد 


Para hamba Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ yang berbahagia.


_Insyaallah_ kita akan membicarakan hal yang berkaitan dengan Shalat Berjama'ah. Pada pasal ini kita akan membicarakan tentang keutamaan shalat berjama'ah dan hukumnya. Apa saja terkait dengan keutamaan shalat berjama'ah dan hukum shalat berjama'ah.


•  *Keutamaan Shalat Berjama'ah*


Di antara keutamaan shalat berjama'ah adalah shalat berjama'ah di masjid bagian dari syiar Islam yang harus kita agungkan. Sebagaimana yang Allah katakan,


وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ 


_"Bahwa di antara tanda ketakwaan, keimanan seseorang di dalam hatinya adalah ketika dia mengagungkan syiar Islam."_ (QS. Al-Hajj: 32).


Kemudian di antara keutamaan yang lainnya bahwa kaum muslimin sepakat dengan menjalankan shalat lima waktu di masjid adalah bagian dari ketaatan yang paling utama.


Kemudian di antara keutamaan yang lainnya bahwa dengan kita melakukan shalat berjama'ah di masjid terutama pada shalat lima waktu maka ini adalah bagian dari media kita untuk saling bersosial di antara kita, saling memperhatikan, saling mengetahui, saling mengenal, kemudian saling membantu di antara kita.


Sebagaimana yang Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ sebutan di dalam surat Al-Hujurat ayat 13.


Allah Ta'ala berfirman,


يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ 


_"Wahai manusia! Bahwa kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Dan sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa."_


Kemudian di antara keutamaan shalat berjama'ah yang lainnya bahwa dengan shalat berjama'ah kita akan dilipat gandakan pahala oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala shalat kita. Allah akan melipat gandakan shalat kita sebanyak 27 lipat atau 25 lipat. 


Sebagaimana yang Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ telah sabdakan, 


صَلَاةُ اَلْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ اَلْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً


_"Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat (27 kali lipat)."_ (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).


Kemudian di dalam hadits yang lain Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ menyatakan, 


_"Barangsiapa membaguskan yang wudhu'nya kemudian tidaklah dia keluar ke masjid kecuali untuk melakukan shalat maka setiap langkah yang dia lakukan Allah akan angkat derajatnya dan Allah akan gugurkan kesalahannya dan malaikat akan senantiasa mendoakan dia selama dia melakukan shalat dan melakukan ibadah di mushalanya atau di tempat dia melakukan shalat."_


Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari. 


Ini hal-hal yang tentunya menjadi motivasi buat kita untuk selalu semangat menjalankan ibadah shalat berjama'ah di masjid.


•  *Hukum Shalat Berjama'ah* 


Apa hukum shalat berjama'ah? 


Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa shalat berjama'ah tidaklah wajib 'ain, ada yang mengatakan bahwa itu adalah fardhu kifayah ada sebagian mengatakan itu adalah sunnah mu'akadah dan sebagian lain mengatakan bahwa shalat berjama'ah bagi laki-laki hukumnya adalah fardhu 'ain. Sebagaimana yang ada pada madzhab Hambali dan Zhahiri.  


Dan pendapat yang lebih berhati-hati dan lebih menenangkan kita adalah pendapat yang menyatakan tentang wajibnya shalat berjama'ah bagi laki-laki terutama dilaksanakan di masjid. Sebagaimana dalil-dalil yang akan kita sebutkan nanti.


Antara lain apa yang Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ jelaskan berkaitan dengan shalat Khauf atau shalat dalam keadaan ketakutan atau dalam peperangan. Sebagaimana yang disebutkan di dalam surat An-Nisaa ayat 102 atau ayat-ayat lain ketika Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ perintahkan mereka untuk tetap menjalankan shalat dalam keadaan perang, shalat dalam keadaan ketakutan dengan cara berjama'ah.


Kalau seandainya itu diperbolehkan maka tentunya cukuplah bagi sebagian mereka untuk melakukan shalat berjama'ah dan yang lainnya bisa shalat sendiri-sendiri. 


Namun Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ tidak memerintahkan hal itu, ini menunjukkan bahwa ketika seseorang dalam keadaan apapun diperintahkan dia untuk tetap menjalankan shalat berjama'ah apalagi dilakukan di dalam masjid.


Kemudian dalil lain yang menjadikan tentang wajibnya shalat berjama'ah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah ketika _Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam_ menyatakan bahwa shalatnya orang-orang munafik yang paling berat adalah shalat Isya dan shalat Fajar.


Kemudian Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ juga menyatakan dalam hadits tersebut bahwa dia berkeinginan untuk memerintahkan orang-orang untuk menjadi imam kemudian dia bersama dengan sebagian sahabat lainnya dengan membawa kayu bakar dan akan membakar rumah orang-orang yang tidak mau pergi ke masjid untuk melakukan shalat berjama'ah. (Hadits riwayat imam Al-Bukhari dan Muslim).


Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ menyifatkan orang-orang yang tidak mau pergi ke masjid untuk melakukan shalat berjama'ah dengan sifat orang-orang munafik dan tidaklah sifat orang munafik kecuali disematkan bagi orang-orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib dan tidak disematkan kepada orang-orang yang meninggalkan hal yang sunnah.


Kemudian kenapa Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ tidak jadi melakukan untuk membakar rumah-rumah mereka? Karena di dapatkan dalam rumah mereka orang-orang yang diberikan udzur untuk tidak pergi ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat berjama'ah dengan kaum muslimin.


Ada sebagian lain yang mengatakan bahwa Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ tidak jadi melakukan itu karena tidaklah layak untuk melakukan hukuman dengan membakar kecuali Allah _Subhanahu wa Ta'ala._


Kemudian dalil lainnya yang menyatakan tentang wajibnya shalat berjama'ah adalah ketika seorang sahabat yang buta yang dia tidak mempunyai orang yang bisa menuntunnya pergi ke masjid, ketika dia meminta izin kepada Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ untuk shalat di dalam rumahnya.


Maka Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ mengatakan kepadanya,


أتَسمعُ النِّداءَ؟


_"Apakah kamu mendengarkan adzan?"_


Maka dia menjawab, "Iya, aku mendengarnya."


Maka Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ mengatakan kepadanya (sahabat yang buta), 


أجِبْ ، لا أجدُ لَكَ رُخصةً


_"Kalau begitu maka jawablah, pergilah ke masjid untuk melakukan shalat berjama'ah. Karena aku tidak mendapatkan untukmu keringanan terhadap hal ini."_ 


(Hadits riwayat Muslim, no. 653).


Kemudian sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ yang lainnya, 


مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْهُ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ 


_"Barangsiapa yang mendengarkan adzan kemudian dia tidak menjawabnya, maka shalatnya tidak sah kecuali bila dia mempunyai udzur."_ 


(Hadits riwayat Abu Dawud, no. 551, Ibnu Majah, no. 793).


Dan apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud _radhiyallahu ta'ala 'anhu_ bahwa beliau menyatakan, "tidaklah kami mendapatkan di antara kita orang yang tidak mau pergi ke masjid untuk shalat berjama'ah melainkan mereka adalah seorang munafik dan telah diketahui tentang kenifakannya."


Ini menunjukkan tentang wajibnya shalat berjama'ah di masjid.


Kita ketahui bahwa kewajiban ini adalah untuk para laki-laki bukan untuk para wanita atau pun anak-anak yang belum baligh. 


Bagi para wanita maka diperbolehkan mereka untuk melakukan shalat berjama'ah di masjid selama aman dan tidak ada fitnah.


Lalu bagaimana hukumnya bagi seseorang yang dia meninggalkan shalat berjama'ah, apakah shalatnya tetap sah atau tidak?


Banyak di antara para ulama yang mengatakan bahwa shalatnya tetap sah namun dia berdosa, walaupun sebagian ulama lain di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa shalatnya tidak sah kalau tidak mempunyai udzur.


Dengan berdalil sabda Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ , _"Barangsiapa yang mendengarkan adzan kemudian dia tidak menjawabnya maka tidak ada shalat baginya kecuali apabila mempunyai udzur."_


(Hadits riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-AlBaniy _rahimahullahu ta'ala_ )


Dengan hukum ini semua dan keutamaan yang ada maka hendaknya kita terus memperhatikan shalat berjama'ah terutama bagi laki-laki untuk selalu semangat dan termotivasi untuk bisa menjalankan shalat berjama'ah lima waktu di masjid.


Semoga Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ memberikan kemudahan bagi kita untuk tetap bisa menjalankan ini semua dan Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ berikan kebahagiaan dengan setiap apa yang kita lakukan.


_Wallahu ta'ala a'lam bishawab_ .


و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

Minggu, 14 Januari 2024

Bila tiba bulan Rajab, banyak bertebaran hadits-hadits tentang amalan khusus di bulan Rajab

 *Mengkritisi Amalan Khusus Bulan Rojab*


Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi


Bila tiba bulan Rajab, banyak bertebaran hadits-hadits tentang amalan khusus di bulan Rajab. 

Bagaimana sebenarnya status riwayat-riwayat tersebut?!


Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah seputar amalan khusus di bulan Rajab, baik puasa maupun shalat malam dan sejenisnya. Dan dalam menegaskan hal ini, aku telah didahului oleh Imam Abu Ismail al-Harawi al-Hafizh, kami meriwayatkan darinya dengan sanad shahih, demikian pula kami meriwayatkan dari selainnya.” (Tabyin ‘Ajab bima Warada fi Rajab hlm. 6)


Termasuk diantaranya adalah hadits tentang Sholat Roghoib. Imam Nawawi berkata: “Shalat yang dikenal dengan shalat Ragha’ib dua belas raka’at antara Maghrib dan Isya’ awal malam Jum’at bulan Rajab serta shalat malam Nisfu Sya’ban seratus raka’at, termasuk bid’ah mungkar dan jelek. Janganlah tertipu dengan disebutnya kedua shalat tersebut dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin (oleh al-Ghazali) dan jangan tertipu pula oleh hadits yang termaktub pada kedua kitab tersebut. Sebab, seluruhnya merupakan kebatilan.” (Majmu’ Syarh Muhadzdzab 3/549)


Oleh karena itu tidak boleh mengkhususkan puasa, sholat, umroh, sembelihan dan ibadah lainnya di bulan Rojab.


Imam Suyuthi berkata, “Mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa, dibenci. Asy-Syafi’i berkata, ‘Aku membenci bila seseorang menyempurnakan puasa sebulan penuh seperti puasa Ramadhan. Demikian pula mengkhususkan suatu hari dari hari-hari lainnya….”


Dan Imam Abdullah al-Anshari –seorang ulama Khurasan– tidak berpuasa bulan Rajab bahkan melarangnya seraya berkata, “Tidak satu hadits pun yang shahih dari Rasulullah tentang keutamaan bulan Rajab dan puasa Rajab.”


Bila dikatakan, “Bukankah puasa termasuk ibadah dan kebaikan?” Jawabnya: “Benar. Tapi ibadah harus berdasarkan contoh dari Rasulullah. Apabila kita ketahui haditsnya dusta, berarti tidak termasuk syari’at.”

Bulan Rajab diagung-agungkan oleh Bani Mudhar di masa jahiliyah sebagaimana dikatakan Umar bin Khaththab. Bahkan beliau memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab. Demikian pula Ibnu Abbas –yang berjuluk lautan ilmu umat– membenci puasa Rajab. Ibnu Umar pun apabila melihat manusia berpuasa Rajab, beliau membencinya seraya berkata, “Berbukalah kalian, sesungguhnya Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh ahli jahiliyah.”

(Al Amru bil Ittiba’ hal. 174-176 oleh as-Suyuthi)


Kesimpulan perkataan para ulama di atas, “Tidak boleh mengkhususkan puasa di bulan Rajab sebagai pengagungan terhadapnya. Sedangkan apabila seseorang telah terbiasa (rutin) berpuasa sunnah (puasa Dawud atau Senin-Kamis misalnya, baik di bulan Rajab maupun bukan) dan tidak beranggapan sebagaimana anggapan salah masyarakat awam sekitarnya, maka diperbolehkan.

Wallahu A'lam.


┈┉┅━━••••━━┅┉┈


#yau #yusufabuuabiadah #doa #keinginan #citacita #serialdoayau #kumpulandoa #serialhadits #serialhaditsyau #rajab #amalanbulanrajab #hukumrebowekasan


🌐 Website : abiubaidah.com

📱Facebook: FB.com/YusufAbuUbaidah

💻YouTube : bit.ly/youtubeYAU

📲Instagram: bit.ly/YAUig

🖥Twit: twitter.com/YusufAbuUbaidah

📱Tiktok : tiktok.com/@yusufabuubaidah 

📟Telegram: t.me/ilmu20

📚 Ebook: abiubaidah.com/ebook


┈┉┅━━••••━━┅┉┈


*Donasi Operasional YAU*

| Bank Syariah Indonesia 

| Cab. Cimahi

| Kode Bank 451

| No. Rek 9119-1444-15

| Atas Nama: YAU Operasional

Jumat, 12 Januari 2024

SYIRIK KECIL PADA UCAPAN DAN PERBEDAAN SYIRIK BESAR DAN SYIRIK KECIL

 🔊 *MATERI 10 : SYIRIK KECIL PADA UCAPAN DAN PERBEDAAN SYIRIK BESAR DAN SYIRIK KECIL*

📆 Jum'at, 30 Jumadil Akhir 1445 H/12 Januari 2024 M

👤 Ustadz Muhammad Wasitho, Lc., M.A.

📗 Aqidah : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله رب العالمين الذي أنزل شريعة الإسلام هُدًى لِلنَّاسِ ورحمة للعالمين أما بعد


Ikhwaniy wa Akhawatiy Fillaah , para santri dan santriwati Madeenah (Madrasah Diniyyah) yang semoga dirahmati dan diberkahi Allah Subhanahu wa Ta'ala .


Contoh yang kedua di antara contoh شرك الأصغر atau syirik kecil yaitu ucapan seorang hamba مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ artinya apa? Ini terjadi berkat kehendak Allah dan kehendak engkau . Ini juga termasuk ucapan yang tergolong شرك الأصغر (syirik kecil).


Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunnannya, dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam .


Beliau bersabda,


لاَ تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ


"Janganlah kalian mengucapkan ini semua terjadi berkat kehendak Allah dan kehendak si Fulan.


وَلَكِنْ قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ ‏


Tetapi ucapkanlah مَا شَاءَ اللَّهُ tsuma (ثُمَّ)."

Ada kata ثُمَّ (tsuma) bukan wa (و).


Ini terjadi berkat kehendak Allah kemudian kehendak di Fulan.

Ini supaya selamat dari syirik ashghar.


Karena kalau ucapan yang pertama مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ itu maknanya adalah menyamakan kehendak makhluk dengan kehendak Allah . Menyejajarkan makhluk dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.


Sedangkan kalimat yang kedua مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ ini tidak ada unsur menyamaan kehendak makhluk dengan kehendak Allah . Sehingga selamat dari syirik Ashghar.


Kemudian di antara contoh syirik Ashghar adalah ucapan seorang hamba,


لولا الله وفلان


"Seandainya tidak ada Allah dan tidak ada si Fulan, kamu akan celaka, kamu akan binasa, kamu akan mati."


Atau ucapan seseorang, "Kalau tidak ada anjing di halaman rumah, niscaya rumahmu akan kecopetan". Seandainya tidak ada anjing ini, atau tidak ada kucing ini atau tidak ada binatang ini, niscaya rumahmu akan didatangi oleh maling atau perampok.


Ini termasuk syirik Ashghar, ucapan semacam itu sering kita dengar dari sebagian kaum muslimin yang jauh dari bimbingan aqidah Tauhid, tidak mengenal majelis-majelis ta'lim apalagi majelis Aqidah.


Dalil yang menunjukkan bahwa ucapan tersebut termasuk syirik Ashghar sebagaimana riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab tafsirnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ketika menjelaskan makna firman Allah Ta'ala,


فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ  {البقرة: ٢٢}


"Maka janganlah kalian menjadikan untuk Allah Tuhan-Tuhan tandingan sedangkan kalian mengetahuinya." (QS. Al-Baqarah: 22)


Di sini kata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma الأنداد (Tuhan-Tuhan tandingan) adalah kesyirikan  yang lebih samar, syirik yang lebih lembut daripada semut yang berjalan di atas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita .


Yaitu engkau mengucapkan,


والله وحياتك يا فلانة وحياتي


"Demi Allah dan demi kehidupanmu wahai si Fulanah dan demi kehidupanku."


Seseorang bersumpah dengan nama Allah dan demi kehidupannya.


Demi Allah dan demi kehidupanmu wahai Fulanah, mungkin orang (wanita) yang dicintainya atau istrinya. Demi Allah dan demi kehidupanmu dan kehidupanku.


Atau engkau mengatakan,


لولا كليبة هذا لأتانا اللصوص


"Seandainya tidak ada anjing ini, niscaya kita akan kemalingan atau didatangi pencuri atau perampok."


Dan juga seperti kata Ibu Abbas ucapan seseorang kepada kawan-kawannya,


ما شاء الله وشئت


"Ini semua terjadi karena kehendak Allah dan karena kehendak engkau."


Atau juga ucapan seseorang,


لولا الله وفلان


"Kalau tidak ada Allah dan tidak ada si Fulan maka terjadi ini dan itu."


Kata Ibnu Abbas,


لا تجعل فيها فلانا


"Jangan engkau jadikan dalam kejadian tersebut dengan menyebutkan si Fulan."


Menyertakan kehendak si Fulan bersama kehendak Allah, karena ini semua syirik, kata Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma .  Dan betapa banyak ucapan-ucapan semacam itu yang terjadi di tengah sebagian kaum muslimin.


Kemudian kita lanjutkan dengan pembahasan tentang  Perbedaan Antara Syirik Akbar Dan Syirik Ashghar


Di antara perbedaannya;


⑴  Dosa syirik akbar tidak akan diampuni oleh Allah bagi pelakunya kecuali dengan taubat nasuha sebelum meninggal dunia .


Bertaubat kepada Allah!


Adapun syirik Ashghar (syirik kecil) maka nasibnya berada di bawah kehendak Allah, terserah kepada Allah . Jika Allah berkehendak mau mengampuni dan memaafkannya, maka ia pun diampuni dan dimaafkan oleh Allah. Selamat dari adzab Neraka.


Namun jika Allah berkehendak tidak mengampuninya maka ia pun pasti diadzab oleh Allah di dalam api Neraka, tetapi sesuai dengan kadar dosa dan tidak kekal abadi. Kenapa? Karena masih ada iman di dalam hatinya.


Perbedaan yang kedua,


⑵  Syirik Akbar akan membatalkan seluruh pahala amal ibadah yang ia kerjakan sepanjang hidupnya . Shalatnya, puasanya, hajinya, umrahnya, sedekahnya, bacaan Al-Qur'annya, dan yang lainnya semua terhapus dan runtuh.


Menjadikan pelakunya musyrik kafir (مشرك كافر بالله) musyrik yang kafir kepada Allah.


Sedangkan syirik Ashghar (syirik kecil) hanya membatalkan amalan yang dikerjakan dan disertai dengan syirik kecil dengan riya', dengan sum'ah dan yang lainnya. Jadi tidak terhapus semuanya.


Perbedaan yang ketiga,


⑶  Syirik Akbar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, sedangkan syirik kecil atau syirik Ashghar tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dia masih muslim tetapi Fasik .


Muslim yang Fasik atau sebagian ulama Ahlus Sunnah menamainya dengan مؤمن ناقص الإيمان (orang mukmin yang tidak sempurna imannya).


Perbedaan yang keempat,


⑷  Syirik Akbar menyebabkan pelakunya masuk Neraka secara kekal abadi dan haram baginya masuk Surga. Sedangkan syirik Ashghar maka hukumnya sama seperti para pelaku dosa besar selain syirik Akbar. Dia berada di bawah kehendak Allah .


Kalau Allah memaafkan dan mengampuninya maka ia pun diselamatkan dari Neraka, lalu langsung masuk ke dalam Surga karena dosanya sudah diampuni oleh Allah.


Tapi kalau Allah berkehendak untuk tidak memaafkan dan tidak mengampuninya, maka ia pun dimasukan oleh Allah ke dalam Neraka untuk diadzab, disiksa sesuai dengan kadar dosanya. Setelah bersih dosanya lalu dia pun dimasukkan ke dalam Surga sebagai tempat tinggal yang hakiki dan abadi.


Demikian pelajaran kita pada pertemuan kali ini semoga mudah dipahami dengan baik dan benar dan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, ilmu yang akan mengantarkan kita kepada keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

Kamis, 11 Januari 2024

SYIRIK KECIL (RIYA

 🔊 *MATERI 09 : SYIRIK KECIL (RIYA')*

📆 Kamis, 29 Jumadil Akhir 1445 H/11 Januari 2024 M

👤 Ustadz Muhammad Wasitho, Lc., M.A.

📗 Aqidah : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله رب العالمين الذي أنزل شريعة الإسلام هُدًى لِلنَّاسِ ورحمة للعالمين أما بعد


_Ikhwaniy wa Akhawatiy Fillaah_, para santri dan santriwati Madeenah (Madrasah Diniyyah) yang semoga dirahmati dan diberkahi Allah _Subhanahu wa Ta'ala_.


Sekarang kita ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan شرك أصغر (syirik kecil).


Apa pengertian syirik kecil?


Syirik kecil atau شرك أصغر adalah segala sesuatu yang dapat mengarahkan atau menjerumuskan pelakunya kepada syirik akbar atau apa saja yang disebutkan dan dinamakan di dalam ayat Al-Qur'an maupun Hadits Nabi sebagai syirik namun belum sampai pada taraf atau batasan syirik akbar. Maka itulah yang disebut dengan شرك أصغر atau syirik kecil.


Syirik kecil ini bisa terjadi pada bentuk amalan atau ucapan lisan. Syirik kecil bisa terjadi pada bentuk amal perbuatan atau ucapan-ucapan lisan.


Bagaimana hukum orang yang berbuat syirik kecil, yaitu nasibnya di akhirat di bawah kehendak Allah تحت مشيئة الله Dia terserah kepada Allah, di bawah kehendak Allah.


Berarti apa? Hukumnya sama seperti hukum pelaku dosa-dosa besar seperti penjudi, pencuri, pezina, pemabuk, dan pelaku dosa-dosa besar yang lainnya. Nasibnya di akhirat di bawah kehendak Allah.


Terserah Allah, jika Allah berkehendak memaafkannya dan mengampuni dosa-dosanya maka ia pun diampuni dosa-dosanya dan diselamatkan dari siksa Neraka. Tetapi jika Allah tidak berkehendak memaafkan dan mengampuni dosa-dosanya, maka ia berhak untuk dimasukkan ke dalam Neraka dan diadzab dengan adzab yang pedih sesuai dengan kadar dosanya. Namun tidak kekal abadi di dalam Neraka.


Karena apa? Karena di dalam hatinya masih ada iman.


Kemudian kita lanjutkan dengan menyebutkan beberapa contoh syirik ashghar (شرك أصغر) Contoh-Contoh Syirik Kecil.


Yang Pertama adalah Riya'.


Riya' yang ringan atau yang sedikit, bukan riya' yang terus menerus (setiap kalian beramal selalu riya'). Riya' yang ringan, kadang-kadang riya' kadang-kadang ikhlas.


Dalil yang menunjukkan bahwa riya' termasuk contoh شرك أصغر atau syirik kecil yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan selainnya dari Nabi _shallallahu 'alayhi wa sallam_ bahwasanya beliau bersabda,


إنَّ أخوَفَ ما أخافُ عليكُمُ الشِّركُ الأصغرُ: قالوا: وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال: الرِّياءُ، يقولُ اللهُ يومَ القيامةِ إذا جَازَى النَّاسَ بأعمالِهم: اذهَبوا إلى الذينَ كنتم تُراؤونَ في الدُّنيا، فانظُروا هل تَجِدونَ عِندَهم جزاء


Yang artinya Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ bersabda, _"Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil."_


Nabi bersabda kepada siapa? Kepada murid-murid Beliau, kepada para sahabat Beliau.


Maka mereka (para sahabat Nabi) bertanya, "Apa syirik ashghar itu wahai Rasulullah?"


Beliau _shallallahu 'alayhi wa sallam_ menjawab yaitu, _"Riya', Syirik kecil yang aku takutkan akan menimpa kalian adalah riya'._


_Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hari Kiamat akan berfirman tatkala telah memberikan balasan kepada manusia atas amal-amal perbuatan mereka. Yaitu Allah berkata,_


اذهَبوا إلى الذينَ كنتم تُراؤونَ في الدُّنيا


_‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian berbuat riya' di dunia (ingin mendapatkan pujian dari mereka)_


فانظُروا هل تَجِدونَ عِندَهم جزاءٍ


_Lalu lihatlah apakah kalian telah mendapatkan balasan dari mereka?’"_


Ini sebagai bentuk penghinaan dari Allah kepada setiap hamba yang berbuat riya' di dalam beramal shalih, di dalam beribadah. Ini dihinakan oleh Allah. Orang-orang yang dahulu kalian mengharapkan pujian, sanjungannya di dunia tidak bisa memberikan apapun di akhirat.


Demikian pelajaran kita pada pertemuan kali ini semoga mudah dipahami dengan baik dan benar dan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, ilmu yang akan mengantarkan kita kepada keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

SYIRIK AKBAR PADA KETAATAN KEPADA MAKHLUK

 🔊 *MATERI 08 : SYIRIK AKBAR PADA KETAATAN KEPADA MAKHLUK*

📆 Rabu, 28 Jumadil Akhir 1445 H/10 Januari 2024 M

👤 Ustadz Muhammad Wasitho, Lc., M.A.

📗 Aqidah : Modul 03

🌐https://madeenah.bimbinganislam.com/


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•


_MADEENAH..._

_Belajar Islam dasar, dengan pemahaman yang benar_


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله رب العالمين الذي أنزل شريعة الإسلام هُدًى لِلنَّاسِ ورحمة للعالمين أما بعد


_Ikhwaniy wa Akhawatiy Fillaah_, para santri dan santriwati Madeenah (Madrasah Diniyyah) yang semoga dirahmati dan diberkahi Allah _Subhanahu wa Ta'ala_.


Kemudian pembahasan kita pada pertemuan kali ini yaitu tentang شرك الطاعة (Syirik yang terjadi dalam ketaatan). Syirik yang terjadi dalam ketaatan kepada makhluk .


Maksudnya bagaimana شرك الطاعة ini? Syirik dalam masalah ketaatan?


Yaitu barangsiapa yang mentaati makhluk dalam menghalalkan apa yang telah Allah haramkan atau sebaliknya di dalam mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, dan dia meyakini dengan hatinya, bahwa hal tersebut boleh bagi makhluk untuk menghalalkan apa yang Allah haramkan, dan boleh bagi makhluk tersebut mengharamkan apa yang Allah halalkan. Maka ini merupakan syirik akbar dalam masalah ketaatan kepada makhluk.


Karena itu akan menjadikan makhluk tersebut sebagai Tuhan tandingan selain Allah, Tuhan tandingan bersama Allah _Subhanahu wa Ta'ala_.


Di antara dalilnya adalah firman Allah dalam surat At-Tawbah ayat 31.


ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ


Yang artinya, kata Allah _Subhanahu wa Ta'ala_, _"Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani dari kalangan ahlul Kitab) telah menjadikan ulama-ulama dan pendeta-pendeta mereka sebagai Rabb Tuhan-Tuhan yang disembah selain Allah dan juga menjadikan Al-Masih Ibnu Maryam sebagai Tuhan yang disembah. Padahal mereka tidaklah diperintahkan oleh Allah melainkan agar beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa. لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia (Allah), Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan."_


Tatkala ayat ini turun kepada Nabi _shallallahu 'alayhi wa sallam_, ada seorang sahabat yang bernama Adiy bin Hatim _radhiyallahu 'anhu_. Beliau menemui Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ lalu menanyakan tentang ayat yang ke-31 dari surat At-Tawbah tersebut, karena Adiy bin Hatim adalah seorang Yahudi (ahlul Kitab).


Adiy bin Hatim pun menemui Rasulullah _shallallahu 'alayhi wa sallam_ dan mengatakan kepada Beliau _shallallahu 'alayhi wa sallam_, "Kami tidak menyembah kepada ulama dan pendeta kami, kami tidak beribadah kepada mereka."


Maka Nabi _shallallahu 'alayhi wa sallam_ bertanya (balik) kepada Adiy bin Hatim (sebelum menjelaskan maksud daripada ayat tersebut), kata Nabi _shallallahu 'alayhi wa sallam_


أليسَ يحرمونَ ما أحلَّ اللهُ فتحرِّمونَه ، ويحلُّونَ ما حرَّمَ اللهُ فتحلُّونَه


_"Bukankah mereka (ulama-ulama dan pendeta-pendeta kalian) mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan. Mengharamkan apa saja yang telah dihalalkan oleh Allah. Lalu kalian sebagai umatnya (pengikutnya) ikut-ikutan mengharamkannya? Karena mengikuti pendapat dan fatwa ulama kalian?_


Maka Adiy bin Hatim pun menjawab, "Benar! Kalau itu benar. Kegiatan kami sebagai ahlul Kitab (Yahudi maupun Nashrani) sami'naa wa atha'naa kepada ulama dan pendeta mereka."


Maka Nabi menjelaskan,


فتلك عبادتُهم


_"Sikap kalian mengekor, mengikuti pendapat dan fatwa ulama dan pendeta kalian dalam masalah penghalalan dan pengharaman, itulah bentuk menyembah ulama dan pendeta kalian."_


Ini menunjukkan kepada kita bahwasanya mentaati para ulama dalam perkara-perkara yang bertentangan dengan hukum Allah termasuk syirik akbar, syirik dalam masalah ketaatan.


Dan ini banyak terjadi di tengah kaum muslimin, apa yang difatwakan oleh gurunya oleh syaikhnya, oleh ulama kelompoknya, maka diterima dan diyakini secara benar meskipun mereka tahu bahwa itu adalah bertentangan dengan hukum Allah dalam Al-Qur'an maupun Hadits Nabi yang shahih.


Pokoknya (kata mereka), "Ini pendapat ulama kami, tokoh-tokoh kami, pemimpin-pemimpin kami." Ini yang dimaksud dengan syirik dalam masalah ketaatan.


Kemudian di antara jenis syirik akbar adalah شرك المحبة yaitu syirik yang terjadi dalam masalah kecintaan. Syirik yang terjadi dalam masalah kecintaan


Maksudnya adalah cinta yang bermakna ibadah, yang mengharuskan adanya pengagungan dan perendahan (diri) serta ketundukan yang tidak pantas kecuali hanya untuk Allah.


Maka barangsiapa yang memalingkan atau memberikan kecintaan yang bermakna ibadah ini kepada selain Allah, apakah kecintaan ini diberikan kepada wali, kepada orang shalih, kepada ulama tertentu, maka ia telah berbuat syirik akbar. Syirik yang membatalkan Islam, membatalkan Iman, menghapuskan pahala amal ibadah (semuanya).


Dalilnya firman Allah _Subhanahu wa Ta'ala_ dalam surat Al-Baqarah ayat 165.


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ


_"Dan di antara manusia (kata Allah) ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tuhan-tuhan tandingan bagi Allah, mereka mencintai tuhan-tuhan tersebut sebagaimana mencintai Allah, sedangkan orang-orang yang beriman mereka sangat cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak ada yang lebih dicintai daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala."_


Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya syirik akbar bisa terjadi pada masalah cinta, cinta yang bermakna ibadah.


Kalau cinta biasa seperti seorang suami mencintai istrinya atau sebaliknya, istri mencintai suami, orang tua (ayah dan ibu) mencintai anak, anak mencintai orang tuanya. Ini cinta yang bersifat naluri manusia, tabi'at manusia.


Tapi kalau cinta yang bermakna ibadah adalah cinta yang menumbuhkan pengagungan, merendahkan diri dan ketundukan kepada yang dicintai dan ini tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah _Subhanahu wa Ta'ala_.


Demikian pelajaran kita pada pertemuan kali ini semoga mudah dipahami dengan baik dan benar dan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, ilmu yang akan mengantarkan kita kepada keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈┈•

Syirik Dalam Nama & Sifat Allah Serta Contohnya Dalam Kehidupan

   Beranda / Artikel Aqidah Artikel Manhaj Syirik Dalam Nama & Sifat Allah Serta Contohnya Dalam Kehidupan Bimbingan Islam 2 hours yang ...