Cari yang antum mau

Senin, 18 Agustus 2025

Bolehkah menyemer rambut dalam islam

 Bolehkah Menyemir Rambut Dalam Islam? Ini Penjelasan Ulama!


Islam mendorong umatnya untuk menjaga penampilan dengan cara yang baik dan sesuai adab. Dalam hal menyemir rambut, Rasulullah ﷺ pernah memberi arahan khusus, sebagaimana sabdanya: 

Kalimat pembuka yang bijak tentang hukum menyemir warna hitam disertai hadits ini

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ. رواه مسلم

“Gantilah uban ini dengan sesuatu, namun jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim). 

Hadits ini menjadi dasar penting dalam membahas hukum menyemir rambut dengan warna hitam, di mana para ulama berbeda pendapat antara yang membolehkannya dalam kondisi tertentu dan yang melarangnya secara mutlak. Maka bijak bagi seorang muslim untuk memahami hukum ini dengan ilmu dan kehati-hatian.” 

Mewarnai rambut dengan warna hitam pekat adalah hal yang diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama berpendapat makruh (tidak disukai), sementara ulama Syafi’iyah menganggapnya haram

Dalam kitab ‘Aun al-Ma‘būd (11/178) berkata:

ذَهَبَ أَكْثَرُ العُلَمَاءِ إِلَى كَرَاهَةِ الخِضَابِ بِالسَّوَادِ، وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ، وَأَنَّ مِنَ العُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ فِي الجِهَادِ، وَلَمْ يُرَخِّصْ فِي غَيْرِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ فَرَّقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالمَرْأَةِ، فَأَجَازَهُ لَهَا دُونَ الرَّجُلِ، وَاخْتَارَهُ الحَلِيمِيُّ. إِنْتَهَى.

“Mayoritas ulama berpendapat bahwa mewarnai rambut dengan warna hitam hukumnya makruh. Imam Nawawi cenderung menganggapnya sebagai makruh tahrim (makruh yang mendekati haram). Sebagian ulama memberikan keringanan dalam hal ini untuk keperluan jihad, namun tidak untuk selain nya. Ada pula yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, memperbolehkannya bagi perempuan untuk berhias bagi suaminya, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Halimi.”


Ibn Qudamah rahimahullah berkata:

وَرَخَّصَ فِيهِ – أَيِ: الصَّبْغِ بِالسَّوَادِ – إِسْحَاقُ، لِلْمَرْأَةِ تَتَزَيَّنُ بِهِ لِزَوْجِهَا

“Telah diberikan keringanan dalam hal mewarnai rambut dengan warna hitam oleh Ishaq (Ibnu Rahuyah), khusus untuk wanita yang berhias bagi suaminya.”  (Al-Mughni, 1/105).

Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa 

مِنَ العُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ ـ يَعْنِي الخِضَابَ بِالسَّوَادِ ـ فِي الجِهَادِ، وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ مُطْلَقًا، وَالأُولَى كَرَاهَتُهُ، وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ، وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ طَائِفَةٌ مِنَ السَّلَفِ، مِنْهُمْ: سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ، وَالْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ، وَجَرِيرٌ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، وَاخْتَارَهُ ابْنُ أَبِي عَاصِمٍ فِي كِتَابِ الخِضَابِ لَهُ. اهـ

“Sebagian ulama membolehkan mewarnai rambut dengan hitam khusus dalam kondisi jihad, dan sebagian lain membolehkan secara umum. Namun yang lebih kuat adalah makruh. Imam Nawawi cenderung menganggap makruh tersebut sebagai makruh tahrim (haram). Sebagian sahabat salaf juga membolehkannya, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husain, Jarir, dan lainnya. Ibnu Abi ‘Ashim juga memilih pendapat ini dalam kitabnya tentang mewarnai rambut.”

Al-Mazari dalam al-Mu’allim

لَمْ يُحَرِّمْ مَالِكٌ ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ التَّغْيِيرَ بِالسَّوَادِ، وَلَا أَوْجَبَ الصِّبَاغَ، وَلَعَلَّهُ يَحْمِلُ النَّهْيَ عَنِ التَّغْيِيرِ بِالسَّوَادِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَالْأَمْرَ بِالتَّغْيِيرِ عَلَى حَالَةِ هُجْنِ الشَّيْبِ صَاحِبَهَا، قَالَ عَبْدُ الْوَهَّابِ: يُكْرَهُ السَّوَادُ لِأَنَّ فِيهِ تَدْلِيسًا عَلَى النِّسَاءِ، فَيُوهِمُ الشَّبَابَ، فَتَدْخُلُ الْمَرْأَةُ عَلَيْهِ. اهـ

“Menjelaskan bahwa Imam Malik tidak mengharamkan mewarnai rambut dengan hitam dan juga tidak mewajibkan mewarnai uban. Mungkin larangan menggunakan warna hitam dipahami sebagai anjuran untuk tidak melakukannya, khususnya jika uban terlihat tidak pantas. Abdul Wahhab berkata bahwa mewarnai rambut dengan hitam dimakruhkan karena bisa menipu wanita, seolah-olah masih muda, padahal sudah tua.”

Ibnu Rusyd dalam al-Muqaddimat al-Mumahhadat juga berkata bahwa

أَمَّا الْخِضَابُ بِالسَّوَادِ، فَمِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ أَجَازَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ، لِمَا فِيهِ مِنَ التَّدْلِيسِ وَالْإِيهَامِ أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى حَالِهِ مِنَ الشَّبَابِ، فَقَدْ تَغْتَرُّ الْمَرْأَةُ الَّتِي تَتَزَوَّجُهُ بِذَلِكَ. اهـ

“Adapun menyemir rambut dengan warna hitam: maka sebagian ulama membolehkannya, dan sebagian lainnya memakruhkannya karena dianggap sebagai bentuk penipuan dan menimbulkan kesan palsu seakan-akan masih muda, yang bisa menipu calon pasangan tersebut.”

Jadi dalam masalah ini para ulama memang memiliki berbagai pendapat dan rincian diantaranya:

Masih muda tapi beruban bolehkah menyemir dengan hitam ?
Adapun jika Anda memang masih muda dan uban tumbuh “sebelum waktunya” maka dalam pendapat mayoritas ulama terdapat kelonggaran 

Dalam mazhab mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan setelahnya, terdapat kelonggaran dalam masalah ini.

Ibnu Al-Mulaqqin dalam kitab At-Taudhih li Syarh Al-Jami’ Ash-Shahih menukil faedah dari kitab Al-Khidab karya Ibnu Abi ‘Ashim. Di antaranya beliau menyampaikan:

 إِنْ قَالَ قَائِلٌ: صَبْغُ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ بِالسَّوَادِ غَيْرُ جَائِزٍ بَلْ مَكْرُوهٌ، وَاحْتَجَّ بِالْأَخْبَارِ السَّالِفَةِ، قِيلَ لَهُ: لَيْسَتْ حُجَّةً فِي النَّهْيِ وَلَا زَجْرًا عَنْهُ، وَذَلِكَ أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِنَّمَا أَخْبَرَ عَنْ قَوْمٍ عَلَامَتُهُمُ الْخِضَابُ بِالسَّوَادِ، وَلَيْسَ – وَإِنْ كَانَ الْخِضَابُ بِهِ عَلَامَةً لَهُمْ – مَنْهِيًّا عَنْ الْخِضَابِ بِهِ، وَقَدْ أَخْبَرَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ عَلَامَةَ الْخَوَارِجِ حَلْقُ الرُّءُوسِ، وَلَمْ يَقُلْ قَائِلٌ بِالنَّهْيِ عَنْ حَلْقِهَا كَذَلِكَ، وَفِي قَوْلِهِ لِأَبِي قُحَافَةَ: “جَنِّبُوهُ السَّوَادَ” – فَإِنَّمَا أَمَرَ بِذَلِكَ لِمَا رَأَى مِنْ هَيْئَتِهِ، لِأَنَّ الْخِضَابَ بِالسَّوَادِ إِنَّمَا يَكُونُ لِمَنْ يَلِيقُ بِهِ مِنْ نَضَارَةِ الْوَجْهِ، فَأَمَّا فِي صِفَةِ أَبِي قُحَافَةَ فَهُوَ شَيْنٌ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُلَائِمٍ لِمِثْلِهِ وَلَا مُشَاكِلٍ، وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: كُنَّا نَخْضِبُ بِالسَّوَادِ إِذْ كَانَ الْوَجْهُ جَدِيدًا، فَلَمَّا نَغَصَ الْوَجْهُ وَالْأَسْنَانُ تَرَكْنَاهُ. اهـ

“Jika ada yang berkata: mewarnai rambut kepala dan jenggot dengan warna hitam tidak boleh, bahkan makruh, dan berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan, maka kami jawab: hadits-hadits tersebut bukanlah dalil larangan atau bentuk teguran terhadap penggunaan warna hitam. 

Karena Nabi ﷺ hanya mengabarkan bahwa ciri khas suatu kaum adalah mewarnai dengan hitam, namun hal itu bukan berarti larangan. Sebagaimana beliau juga mengabarkan bahwa tanda kelompok Khawarij adalah mencukur kepala, namun tidak ada satupun ulama yang melarang mencukur kepala karena hal itu.”

“Adapun sabda Nabi kepada Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) ‘Hindarilah warna hitam’, itu karena beliau melihat kondisi fisiknya yang sudah sangat tua. Sebab mewarnai dengan hitam hanya cocok bagi yang wajahnya masih tampak muda. Sementara pada kondisi seperti Abu Quhafah, justru terlihat buruk karena tidak sesuai.”

Az-Zuhri berkata, “Dahulu kami mewarnai dengan hitam ketika wajah masih segar, namun setelah wajah dan gigi mulai rusak (tua), kami meninggalkannya.” 

Meskipun demikian, jika seorang pemuda ingin menutupi uban, maka lebih baik dan lebih utama menggunakan warna selain hitam, seperti pacar (henna) atau katam (sejenis pewarna gelap alami).

Belum Beruban, Bolehkah Menyemir Rambut?
Menyemir rambut pada dasarnya memiliki dua tujuan:

Menghilangkan aib, seperti menutupi uban dengan warna yang mendekati warna asli rambut.
Berhias, yaitu mengganti warna rambut untuk mempercantik penampilan.
Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah tujuan berhias, bukan menutupi uban.

Bagi laki-laki:

Menyemir rambut untuk tujuan berhias—terlebih jika belum beruban—tidak diperbolehkan, karena dianggap sebagai bentuk penyerupaan terhadap wanita (tasyabbuh bil-nisa), yang dilarang dalam syariat. Selain itu, menyemir rambut hitam atau warna mencolok tanpa kebutuhan syar’i juga dinilai sebagai bentuk kesia-siaan atau meniru gaya orang-orang fasik.

Bagi perempuan:

Sebagian ulama memberikan keringanan untuk menyemir rambut dalam rangka berhias bagi suaminya. Ini termasuk bentuk perhiasan yang diperbolehkan selama dilakukan di dalam rumah, bukan untuk ditampilkan di luar. Namun demikian, dianjurkan untuk menghindari warna hitam pekat, karena ada larangan dari Nabi ﷺ secara khusus terhadap warna tersebut.

Dengan demikian, jika menyemir rambut dilakukan bukan karena kebutuhan syar’i dan hanya sekadar hiasan semata, maka:

– Bagi laki-laki: tidak diperbolehkan, terutama jika menyerupai wanita.

– Bagi perempuan: boleh, dengan syarat untuk suami, dan jauhi menggunakan warna hitam.

Sebagai penutup,  

Karena dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama, maka hendaknya setiap orang menghormati pendapat yang diambil oleh saudaranya berdasarkan pilihan ulama yang diyakini. 

Boleh menjelaskan dan mendeskripsikan perbedaan pendapat yang ada dengan jelas dan santun, namun jangan sampai terjadi pemaksaan pendapat kepada orang lain.  

Sikap saling menghargai dan toleransi sangat penting untuk menjaga ukhuwah serta keharmonisan dalam perbedaan. 

Wallahu a’lam.

Bolehkah Menyemir Rambut Dalam Islam? Ini Penjelasan Ulama!

 Bolehkah Menyemir Rambut Dalam Islam? Ini Penjelasan Ulama!


Islam mendorong umatnya untuk menjaga penampilan dengan cara yang baik dan sesuai adab. Dalam hal menyemir rambut, Rasulullah ﷺ pernah memberi arahan khusus, sebagaimana sabdanya: 

Kalimat pembuka yang bijak tentang hukum menyemir warna hitam disertai hadits ini

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ. رواه مسلم

“Gantilah uban ini dengan sesuatu, namun jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim). 

Hadits ini menjadi dasar penting dalam membahas hukum menyemir rambut dengan warna hitam, di mana para ulama berbeda pendapat antara yang membolehkannya dalam kondisi tertentu dan yang melarangnya secara mutlak. Maka bijak bagi seorang muslim untuk memahami hukum ini dengan ilmu dan kehati-hatian.” 

Mewarnai rambut dengan warna hitam pekat adalah hal yang diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama berpendapat makruh (tidak disukai), sementara ulama Syafi’iyah menganggapnya haram

Dalam kitab ‘Aun al-Ma‘būd (11/178) berkata:

ذَهَبَ أَكْثَرُ العُلَمَاءِ إِلَى كَرَاهَةِ الخِضَابِ بِالسَّوَادِ، وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ، وَأَنَّ مِنَ العُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ فِي الجِهَادِ، وَلَمْ يُرَخِّصْ فِي غَيْرِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ فَرَّقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالمَرْأَةِ، فَأَجَازَهُ لَهَا دُونَ الرَّجُلِ، وَاخْتَارَهُ الحَلِيمِيُّ. إِنْتَهَى.

“Mayoritas ulama berpendapat bahwa mewarnai rambut dengan warna hitam hukumnya makruh. Imam Nawawi cenderung menganggapnya sebagai makruh tahrim (makruh yang mendekati haram). Sebagian ulama memberikan keringanan dalam hal ini untuk keperluan jihad, namun tidak untuk selain nya. Ada pula yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, memperbolehkannya bagi perempuan untuk berhias bagi suaminya, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Halimi.”


Ibn Qudamah rahimahullah berkata:

وَرَخَّصَ فِيهِ – أَيِ: الصَّبْغِ بِالسَّوَادِ – إِسْحَاقُ، لِلْمَرْأَةِ تَتَزَيَّنُ بِهِ لِزَوْجِهَا

“Telah diberikan keringanan dalam hal mewarnai rambut dengan warna hitam oleh Ishaq (Ibnu Rahuyah), khusus untuk wanita yang berhias bagi suaminya.”  (Al-Mughni, 1/105).

Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa 

مِنَ العُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ ـ يَعْنِي الخِضَابَ بِالسَّوَادِ ـ فِي الجِهَادِ، وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ مُطْلَقًا، وَالأُولَى كَرَاهَتُهُ، وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ، وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ طَائِفَةٌ مِنَ السَّلَفِ، مِنْهُمْ: سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ، وَالْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ، وَجَرِيرٌ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، وَاخْتَارَهُ ابْنُ أَبِي عَاصِمٍ فِي كِتَابِ الخِضَابِ لَهُ. اهـ

“Sebagian ulama membolehkan mewarnai rambut dengan hitam khusus dalam kondisi jihad, dan sebagian lain membolehkan secara umum. Namun yang lebih kuat adalah makruh. Imam Nawawi cenderung menganggap makruh tersebut sebagai makruh tahrim (haram). Sebagian sahabat salaf juga membolehkannya, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husain, Jarir, dan lainnya. Ibnu Abi ‘Ashim juga memilih pendapat ini dalam kitabnya tentang mewarnai rambut.”

Al-Mazari dalam al-Mu’allim

لَمْ يُحَرِّمْ مَالِكٌ ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ التَّغْيِيرَ بِالسَّوَادِ، وَلَا أَوْجَبَ الصِّبَاغَ، وَلَعَلَّهُ يَحْمِلُ النَّهْيَ عَنِ التَّغْيِيرِ بِالسَّوَادِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَالْأَمْرَ بِالتَّغْيِيرِ عَلَى حَالَةِ هُجْنِ الشَّيْبِ صَاحِبَهَا، قَالَ عَبْدُ الْوَهَّابِ: يُكْرَهُ السَّوَادُ لِأَنَّ فِيهِ تَدْلِيسًا عَلَى النِّسَاءِ، فَيُوهِمُ الشَّبَابَ، فَتَدْخُلُ الْمَرْأَةُ عَلَيْهِ. اهـ

“Menjelaskan bahwa Imam Malik tidak mengharamkan mewarnai rambut dengan hitam dan juga tidak mewajibkan mewarnai uban. Mungkin larangan menggunakan warna hitam dipahami sebagai anjuran untuk tidak melakukannya, khususnya jika uban terlihat tidak pantas. Abdul Wahhab berkata bahwa mewarnai rambut dengan hitam dimakruhkan karena bisa menipu wanita, seolah-olah masih muda, padahal sudah tua.”

Ibnu Rusyd dalam al-Muqaddimat al-Mumahhadat juga berkata bahwa

أَمَّا الْخِضَابُ بِالسَّوَادِ، فَمِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ أَجَازَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ، لِمَا فِيهِ مِنَ التَّدْلِيسِ وَالْإِيهَامِ أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى حَالِهِ مِنَ الشَّبَابِ، فَقَدْ تَغْتَرُّ الْمَرْأَةُ الَّتِي تَتَزَوَّجُهُ بِذَلِكَ. اهـ

“Adapun menyemir rambut dengan warna hitam: maka sebagian ulama membolehkannya, dan sebagian lainnya memakruhkannya karena dianggap sebagai bentuk penipuan dan menimbulkan kesan palsu seakan-akan masih muda, yang bisa menipu calon pasangan tersebut.”

Jadi dalam masalah ini para ulama memang memiliki berbagai pendapat dan rincian diantaranya:

Masih muda tapi beruban bolehkah menyemir dengan hitam ?
Adapun jika Anda memang masih muda dan uban tumbuh “sebelum waktunya” maka dalam pendapat mayoritas ulama terdapat kelonggaran 

Dalam mazhab mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan setelahnya, terdapat kelonggaran dalam masalah ini.

Ibnu Al-Mulaqqin dalam kitab At-Taudhih li Syarh Al-Jami’ Ash-Shahih menukil faedah dari kitab Al-Khidab karya Ibnu Abi ‘Ashim. Di antaranya beliau menyampaikan:

 إِنْ قَالَ قَائِلٌ: صَبْغُ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ بِالسَّوَادِ غَيْرُ جَائِزٍ بَلْ مَكْرُوهٌ، وَاحْتَجَّ بِالْأَخْبَارِ السَّالِفَةِ، قِيلَ لَهُ: لَيْسَتْ حُجَّةً فِي النَّهْيِ وَلَا زَجْرًا عَنْهُ، وَذَلِكَ أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِنَّمَا أَخْبَرَ عَنْ قَوْمٍ عَلَامَتُهُمُ الْخِضَابُ بِالسَّوَادِ، وَلَيْسَ – وَإِنْ كَانَ الْخِضَابُ بِهِ عَلَامَةً لَهُمْ – مَنْهِيًّا عَنْ الْخِضَابِ بِهِ، وَقَدْ أَخْبَرَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّ عَلَامَةَ الْخَوَارِجِ حَلْقُ الرُّءُوسِ، وَلَمْ يَقُلْ قَائِلٌ بِالنَّهْيِ عَنْ حَلْقِهَا كَذَلِكَ، وَفِي قَوْلِهِ لِأَبِي قُحَافَةَ: “جَنِّبُوهُ السَّوَادَ” – فَإِنَّمَا أَمَرَ بِذَلِكَ لِمَا رَأَى مِنْ هَيْئَتِهِ، لِأَنَّ الْخِضَابَ بِالسَّوَادِ إِنَّمَا يَكُونُ لِمَنْ يَلِيقُ بِهِ مِنْ نَضَارَةِ الْوَجْهِ، فَأَمَّا فِي صِفَةِ أَبِي قُحَافَةَ فَهُوَ شَيْنٌ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُلَائِمٍ لِمِثْلِهِ وَلَا مُشَاكِلٍ، وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: كُنَّا نَخْضِبُ بِالسَّوَادِ إِذْ كَانَ الْوَجْهُ جَدِيدًا، فَلَمَّا نَغَصَ الْوَجْهُ وَالْأَسْنَانُ تَرَكْنَاهُ. اهـ

“Jika ada yang berkata: mewarnai rambut kepala dan jenggot dengan warna hitam tidak boleh, bahkan makruh, dan berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan, maka kami jawab: hadits-hadits tersebut bukanlah dalil larangan atau bentuk teguran terhadap penggunaan warna hitam. 

Karena Nabi ﷺ hanya mengabarkan bahwa ciri khas suatu kaum adalah mewarnai dengan hitam, namun hal itu bukan berarti larangan. Sebagaimana beliau juga mengabarkan bahwa tanda kelompok Khawarij adalah mencukur kepala, namun tidak ada satupun ulama yang melarang mencukur kepala karena hal itu.”

“Adapun sabda Nabi kepada Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) ‘Hindarilah warna hitam’, itu karena beliau melihat kondisi fisiknya yang sudah sangat tua. Sebab mewarnai dengan hitam hanya cocok bagi yang wajahnya masih tampak muda. Sementara pada kondisi seperti Abu Quhafah, justru terlihat buruk karena tidak sesuai.”

Az-Zuhri berkata, “Dahulu kami mewarnai dengan hitam ketika wajah masih segar, namun setelah wajah dan gigi mulai rusak (tua), kami meninggalkannya.” 

Meskipun demikian, jika seorang pemuda ingin menutupi uban, maka lebih baik dan lebih utama menggunakan warna selain hitam, seperti pacar (henna) atau katam (sejenis pewarna gelap alami).

Belum Beruban, Bolehkah Menyemir Rambut?
Menyemir rambut pada dasarnya memiliki dua tujuan:

Menghilangkan aib, seperti menutupi uban dengan warna yang mendekati warna asli rambut.
Berhias, yaitu mengganti warna rambut untuk mempercantik penampilan.
Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah tujuan berhias, bukan menutupi uban.

Bagi laki-laki:

Menyemir rambut untuk tujuan berhias—terlebih jika belum beruban—tidak diperbolehkan, karena dianggap sebagai bentuk penyerupaan terhadap wanita (tasyabbuh bil-nisa), yang dilarang dalam syariat. Selain itu, menyemir rambut hitam atau warna mencolok tanpa kebutuhan syar’i juga dinilai sebagai bentuk kesia-siaan atau meniru gaya orang-orang fasik.

Bagi perempuan:

Sebagian ulama memberikan keringanan untuk menyemir rambut dalam rangka berhias bagi suaminya. Ini termasuk bentuk perhiasan yang diperbolehkan selama dilakukan di dalam rumah, bukan untuk ditampilkan di luar. Namun demikian, dianjurkan untuk menghindari warna hitam pekat, karena ada larangan dari Nabi ﷺ secara khusus terhadap warna tersebut.

Dengan demikian, jika menyemir rambut dilakukan bukan karena kebutuhan syar’i dan hanya sekadar hiasan semata, maka:

– Bagi laki-laki: tidak diperbolehkan, terutama jika menyerupai wanita.

– Bagi perempuan: boleh, dengan syarat untuk suami, dan jauhi menggunakan warna hitam.

Sebagai penutup,  

Karena dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama, maka hendaknya setiap orang menghormati pendapat yang diambil oleh saudaranya berdasarkan pilihan ulama yang diyakini. 

Boleh menjelaskan dan mendeskripsikan perbedaan pendapat yang ada dengan jelas dan santun, namun jangan sampai terjadi pemaksaan pendapat kepada orang lain.  

Sikap saling menghargai dan toleransi sangat penting untuk menjaga ukhuwah serta keharmonisan dalam perbedaan. 

Wallahu a’lam.




https://bimbinganislam.com/bolehkah-menyemir-rambut-dalam-islam-ini-penjelasan-ulama/

Jumat, 08 Agustus 2025

_Hadist #83_ | Menemani Rasul (ﷺ) Di Surga

 📗 _Fawaid Hadist Bimbingan Islam_

🔊 *_Hadist #83_ | Menemani Rasul (ﷺ) Di Surga*

 

عَنْ أَبِي فِرَاسٍ رَبِيْعَةَ بْنِ كَعْبٍ الْأَسْلَمِيِّ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ أَبِيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَآتِيْهِ بِوَضُوْئِهِ، وَحَاجَتِهِ فَقَالَ: « سَلْنِي » فَقُلْتُ: أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ، فَقَالَ: « أَوَ غَيْرَ ذَلِكَ؟ » قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ، قَالَ: فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرةِ السُّجُودِ. »

 

_Dari Abu Firas Rabi'ah bin Ka'ab Al-Aslami, pembantu Rasulullah (ﷺ) dan termasuk dari ahlu Suffah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama dengan Rasulullah (ﷺ), kemudian aku menyediakan air untuk baginda berwudhu dan keperluan beliau yang lain. Kemudian Nabi bersabda: “Mintalah sesuatu kepadaku!”_


_Aku menjawab: “Aku berharap agar bisa bersamamu di surga.” Baginda bertanya: “Adakah permintaan yang lain?” Aku menjawab: “Itu saja wahai Rasulullah.” Baginda bersabda: “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.”_ (HR. Muslim, no. 489).

 

📝 *FAEDAH HADIST*

 

Hadist ini memberikan faedah-faedah berharga, di antaranya:


1️⃣ Semangatnya para sahabat dalam berkhidmah dan membantu menyediakan keperluan Rasulullah (ﷺ), hadis ini juga menunjukkan kemuliaan sahabat Rabi'ah bin Ka'ab Al-Aslami.

 

2️⃣ Rasulullah Rasulullah (ﷺ) ingin memberi sahabat balasan dan imbalan karena telah membantu beliau dengan sabdanya, “Mintalah kepadaku!” maksudnya mintalah yang menjadi kebutuhanmu!

Pada umumnya orang mengira kalau sahabat ini (ahlus suffah yang tidak punya tempat tinggal dan hidup serba kekurangan) akan meminta harta, tetapi cita-citanya sangat tinggi, yaitu ingin bersama Rasul di surga.

 

3️⃣ Dalam kandungan hadis ini terdapat motivasi untuk memperbanyak sujud dan mendorongnya. Maksud dengan sujud disini adalah sujud dalam shalat dan bukan di luar shalat. Artinya seorang muslim itu selain menjaga shalat wajib 5 waktu, ia juga memperbanyak shalat-shalat Sunnah yang dianjurkan.

 

4️⃣ Sahabat ini cerdas dengan meminta kepada Nabi (ﷺ) untuk mendo’akannya dengan itu (agar bisa menemani Rasulullah (ﷺ) di Surga)”. Karena doa Rasul itu mustajab. Bukan meminta Rasul langsung agar memasukkannya ke surga. Karena memang Rasulullah (ﷺ) tidak memiliki kemampuan memasukkan orang ke dalam Surga dan hanya Allah Yang Mahakuasa lah yang mampu memasukkan seseorang ke dalam Surga.

 

5️⃣ Amal shalih dan pahala itu berbanding lurus, semakin banyak atau tinggi kualitas amalan itu, maka semakin besar pahalanya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, semakin Anda menjaga baik shalat-shalat Anda yang wajib dan memperbanyak shalat-shalat sunnah, maka semakin besar kesempatan Anda untuk menemani Rasulullah (ﷺ) di Surga dan semakin lama dan besar kesempatan dalam bentuk “menemani beliau” (ﷺ) tersebut.

 

6️⃣ Diperbolehkan untuk meminta bantuan kepada seorang yang merdeka (sahabat Rabi'ah bin Ka'ab Al-Aslami bukan hamba sahaya), hal ini bukan termasuk perbuatan yang aib, bahkan kalau seandainya anda berkata kepada pembantu, “Tolong ambilkan sesuatu,” atau meminta kepada tuan rumah ketika kita bertamu, “Tolong saya minta air atau kopi,” karena hal ini bukan termasuk permintaan yang dilarang, tetapi termasuk adab kebiasaan bertamu.

 

7️⃣ Para pengajar dan pendidik sejati menasehatkan dan mengarahkan murid-muridnya pada apa yang bermanfaat untuk mereka di dunia dan akhirat.

 

_Wallahu Ta’ala A’lam._

 

_Referensi Utama: Syarah hadis oleh Mufti Ibnu Baz dalam Web beliau, Riyadhus Shalihin karya Syaikh Shalih al Utsaimin, & Kitab Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy._


👤 _Ustadz Fadly Gugul, S.Ag., M.Ag._


https://bimbinganislam.com/fawaid-hadist-83-menemani-rasul-ﷺ-di-surga/

Senin, 04 Agustus 2025

adist #82_ | Surga Dan Neraka Itu Dekat

 📗 _Fawaid Hadist Bimbingan Islam_

🔊 *_Hadist #82_ | Surga Dan Neraka Itu Dekat*


عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اَلْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.


Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:


_“Surga itu lebih dekat kepada salah seorang di antara kalian dari tali sandalnya, dan begitu juga neraka seperti itu.”_ (HR. Al-Bukhari, no. 6488).


📝 *FAEDAH HADIST*


Hadist ini memberikan faedah - faedah berharga, di antaranya;


1️⃣ “Tali sandal” dalam hadis ini adalah kiasan yang artinya sangat dekat dengan yang memakainya dan itu berukuran kecil, maka jangan meremehkan sesuatu yang kecil, karena boleh jadi dampaknya sangat besar.


Dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu 'anhu ia berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku,


لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْق


_"Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikit pun, meskipun (hanya) dengan engkau bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri."_ (HR. Muslim).


Dalam hadist yang lain;


dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ


_“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang dia anggap itu tidaklah mengapa (tidak berdosa), padahal karena ucapan itu dia dilemparkan di neraka sejauh 70 tahun perjalanan.”_ (HR. Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).


1️⃣ Penjelasan berharga bahwa surga dan neraka lebih dekat daripada tali sendal maksudnya adalah ketaatan yang sangat kecil dapat mendekatkan kita kepada surga seperti tersenyum, menyingkirkan krikil kecil yang berada dijalan dan berbagi hadiah dengan tetangga. Begitu juga maksiat sekecil apapun ia maka dapat mendekatkan kita kepada neraka.


2️⃣ Anjuran dan motivasi untuk memperbanyak amalan ketaatan, dan bersungguh-sungguh serta waspada agar tidak terjatuh dalam dosa. Karena bila seseorang ingin masuk surga dan dijauhkan dari neraka maka hendaknya dia bersungguh-sungguh penuh ketulusan mengerjakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya. Terkadang perintah-perintah tersebut bukan sesuatu yang besar menurut pandangan manusia. Tapi kalau itu perintah, maka kita tak boleh meremehkannya, karena ia menjadi bagian dari sarana menuju surga. Sebaliknya kalau itu larangan, maka perhatikanlah bahwa yang sedang dimaksiati olehnya adalah Allah Yang Maha Agung lagi Maha Suci.


_Wallahu Ta’ala A’lam._


_Referensi Utama: Syarah Riyadhus Shalihin karya Syaikh Shalih al Utsaimin, & Kitab Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy._


👤 _Ustadz Fadly Gugul, S.Ag., M.Ag._


https://bimbinganislam.com/fawaid-hadist-82-surga-dan-neraka-itu-dekat/

Bolehkah menyemer rambut dalam islam

  Bolehkah Menyemir Rambut Dalam Islam? Ini Penjelasan Ulama! Islam mendorong umatnya untuk menjaga penampilan dengan cara yang baik dan ses...